Minggu, 28 Agustus 2011

BELL'S PALSY

BELL'S PALSY

I.DEFINISI
Bell’s Palsy (BP) adalah kelumpuhan N. VII (saraf fasialis) perifer, sebagai akibat inflamasi non supuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema pada bagian nervus fasialis dalam foramen stilomastoid atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, bersifat akut, dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, umumnya unilateral, penyebabnya tidak diketahui. (1,2,3)
II.EPIDEMIOLOGI
Insidens Bell’s Palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderitanya tidak hanya berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat ke dokter umum, THT maupun mata. Kurang lebih terdapat 19,55% kasus Bell’s Palsy dari keseluruhan kasus neuropati. Bell’s Palsy dapat mengenai semua umur, umumnya menyerang usia 20-50 tahun, lebih sering pada wanita daripada pria. Pada penderita DM insiden lebih tinggi. Tidak ada perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan (1,2,3).
III.ANATOMI
Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus intermedius yang tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan lidah ke nukleus traktus solitarius.
Inti motorik nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral tegmentum pontis bagian kaudal. Inti dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dorsal dan ventral. Kelompok dorsal inti nervus fasialis mensarafi otot-otot frontalis, zygomatikus, belahan atas orbikularis okuli dan bagian atas otot wajah. Inti ini mempunyai inervasi kortikal secara bilateral. Kelompok ventral inti nervus fasialis mensarafi otot-otot belahan bawah orbikularis okuli, otot wajah bagian bawah dan platisma. Inti ini mempunyai hubungan hanya dengan korteks motorik sisi kontralateral.


Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru membelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu ia berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius. Bertiga mereka masuk ke dalam liang os petrosum melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar dari os petrosum kembali dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia turun, sedikit membelok ke belakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat ia turun ke bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan tergabung dengan ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari serabut penghantar impuls pengecap yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus intermedius. Disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang kepada ganglion otikum dan sfenopalatinum yang menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar lendir. Liang os petrosum yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus Falopii atau kanalis fasialis. Disitu nervus fasialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini menuju ke tepi atas gendang telinga dan membelok ke depan.
Melalui kanalikulus anterior ia keluar dari tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus. Di situ korda timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nervus mandibularis. Korda timpani menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian depan lidah. Sebagian saraf motorik mutlak nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideum dan memberikan cabang-cabang kepada otot stilohioid dan venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis. Pangkal sisanya menuju ke glandula parotis. Di situ ia bercabang-cabang lagi untuk mensarafi otot wajah dan platisma.
Nervus fasialis yang melintasi jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi untuk mensarafi seluruh otot wajah. Adapun otot-otot tersebut mempunyai arti klinis penting ialah :
a. Otot frontalis : berfungsi mengangkat alis, mengerutkan dahi
b. Otot corrugator supercilii : berfungsi menggerakkan kedua alis mata ke medial bawah sehingga terbentuk kerutan vertikal diantara kedua alis
c. Otot procerus : berfungsi mengangkat tepi lateral cuping hidung sehingga terbentuk kerutan diagonal sepanjang pangkal hidung
d. Otot nasalis : berfungsi melebarkan/ mengembangkan cuping hidung
e. Otot orbikularis oculi : berfungsi menutup mata/ memejamkan mata
f. Otot orbicularis oris : berfungsi menggerakkan mulut / mecucu / bersiul / mengecup
g. Otot levator labii superioris : berfungsi untuk mengangkat bibir atas dan melebarkan lubang hidung
h. Otot levator anguli oris : berfungsi untuk mengangkat sudut mulut
i. Otot zygomatikus minor : berfungsi untuk memoncongkan bibir atas
j. Otot zygomaticus mayor : berfungsi untuk gerakan tersenyum
k. Otot risorius : berfungsi untuk gerakan meringis
l. Otot businator : berfungsi untuk gerakan meniup dengan kedua bibir dirapatkan
m. Otot levator mentalis : berfungsi mengangkat dan menjulurkan bibir bawah
n. Otot depresor anguli oris dan platysma : berfungsi untuk menarik sudut mulut kebawah dengan kuat akan tampak kontraksi otot platysma terutama di daerah leher.




Gambar 1. Perjalanan nervus fasialis

IV.ETIOLOGI
Penyebab Bell’s Palsy sampai saat ini belum diketahui secara pasti, ada 4 teori yang diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy (1,2,4,6)
1. Teori Iskemik Vaskuler.
Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan sirkulasi darah di kanalis fasialis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, tidak karena akibat tekanan langsung pada sarafnya. Respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arteriolar dan stasis vena pada bagian bawah kanalis fasialis yang kemudian menimbulkan edema sehingga menambah kompresi terhadap suplai darah dan menambah iskemi. Terjadinya vasokonstriksi arteriole yang melayani N. VII, sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat sehingga terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler serta venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
2. Teori Infeksi Virus.
Terjadi karena proses reaktivasi virus herpes simplex (tipe I). Sesudah suatu infeksi akut primer dalam jangka waktu cukup lama, dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi terjadi jika daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis /neuropati dengan proses inflamasi timbul edema dan terjadi gangguan vaskuler yang akhirnya menimbulkan degenerasi lebih lanjut pada N VII perifer.
3. Teori Herediter.
Ada 6% penderita BP yang kausanya herediter, yaitu autosomal dominan. Hal ini berhubungan dengan kelainan anatomi, yaitu terdapatnya kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi terjadinya Bell's Palsy.
4. Teori Imunologi.
Dikatakan bahwa Bell's Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema, serta juga sebagai imunosupresor.

V. PATOGENESIS
a. Tipe I
Pada tipe ini mengalami paresis ringan dan sebagian mengalami kelumpuhan komplit.
Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik. Blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksi) adalah akibat dari kompresi yang mendadak karena edema disekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah. Namun teori ini belum dapat dibuktikan. Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler-kapiler oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.
b. Tipe II.
Ditandai oleh timbulnya sinkinesis dan gejala sisa lain, yang mungkin akibat dari degenerasi saraf sinkinesis ini terjadi oleh karena impuls dari satu akson yang dapat menyebar ke akson berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain.
c. Tipe III.
Penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi karena cedera akson dalam segmen labirin nervus fasialis. Ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh virus varicella zooster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori ke korda 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibuler sehingga menyebabkan hambatan pengantar akson, kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.
VI. GAMBARAN KLINIS
Biasanya timbul secara mendadak, penderita merasakan ada kelainan di mulut saat bangun tidur, menggosok gigi, berkumur, minum, berbicara atau diberitahu orang lain bahwa salah satu sudut mulutnya lebih rendah. Dapat juga berkembang perlahan¬-lahan, biasanya kurang dari 4 hari. Umumnya mengenai satu sisi dan jarang sekali yang mengenai kedua sisi. Gambaran klinisnya dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena maka ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura palpebra, melebar, serta kerut dahi menghilang. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmus), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata terputar keatas (tanda Bell : lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata ). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora.
Pada waktu bernafas maka pipi sisi lumpuh akan menggembung, hal ini disebabkan karena kelumpuhan dari otot bucinator Penderita tidak dapat bersiul atau meniup. Bila berkumur atau minum maka air akan keluar melalui sisi mulut yang lumpuh, makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi (1,2,3,4).
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N. intermedius. Dan bila saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri.
Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimmer.
Gejala yang ditimbulkan tergantung letak dari lesi :
Tinggi Lesi Kelumpuhan wajah sesisi Ageusis Hiperakusis Hiposekresi lacrimalis
Pons-meatus akust int + + + +
Meatus akust int-ggl gen + + + +
Ggl gen-n. stapedius + + + -
n. stapedius-khorda thy + + - -
Khorda thym-for stiloma + - - -

VII. FAKTOR PREDISPOSISI (1,2,4,5)
a. Pemaparan udara dingin.
b. Diabetes Melitus.
c. Faktor herediter.
d. Penyakit vaskuler.
e. Kelainan imunologis.
f. Hipertensi dan DM.

VIII. DIAGNOSIS (1,2,4)
Untuk menegakkan diagnosisi BP dibutuhkan beberapa pemeriksaan, antara lain :
a. Pemeriksaan neurologi dengan penekanan pada kelainan saraf kranialis.
Metode penilaian kekuatan otot fasialis antara lain skala UGO FISCH dinilai kondisi simetris-asimetris antara sisi sakit dengan sisi sehat pada 5 posisi yaitu istirahat (20), mengangkat alis (10), menutup mata (30), tersenyum (30), bersiul (10).
Penilaian persentase :
0% : asimetrik komplit, tidak ada gerakan volunter
30% : simetris : poor/jelek, kesembuhan yang ada, lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal
70% : simetris : fair/ cukup, kesembuhan parsial yang lebih cenderung kearah normal
100% : simetris normal/ komplit
b. Pemeriksaan EMG.
c. Pemeriksaan telinga dan audiometri
Untuk menyingkirkan adanya infeksi telinga tengah dan kolesteatoma.
d. Pemeriksaan mata (tes Schimmer).
Berkurangnya airmata menunjukkan level lesi trans atau supragenikulatum. Maka selain gangguan lakrimasi juga terdapat gangguan pada semua cabang distal dari ganglion genikulatum.
e. Tes sekresi kelenjar ludah submaksilaris.
Untuk mengetahui fungsi chorda tympani dan dianggap lebih obyektif
Saliva bagian sakit
------------------------ x 100%
Saliva bagian sehat
Kriteria Blatt
 >40% : dapat diharapkan sembuh sempuma
 25-40 % : tiap minggu diperiksa ulang dan bila dalam 3 minggu tidak mencapai
 >40% atau malah turun maka diperlukan tindakan operasi
 11-25 % : tiap minggu periksa ulang dan bila dalam 2 minggu tidak mencapai 40% perlu tindakan operasi
f. Pemeriksaan radiologis : X foto os temporalis dan mastoid, untuk untuk melihat kemungkinan infeksi mastoid dan fraktura os temporalis.
g. Pemeriksaan tambahan yang lain (lab. darah, titer virus dalam darah).

IX. DIAGNOSIS BANDING (1,2,4)
BP harus dibedakan dengan keadaan-keadaan atau penyakit lain yang dapat menyebabkan paresis n. fasialis perifer yaitu :
a. Herpes zooster otikus ( Ramsay Hunt Syndrome ).
b. Otitis media purulenta, mastoiditis, kolesteatoma.
c. Tumor intra kranial.
d. Trauma ( trauma operasi, trauma kapitis ).
e. SGB, Miastenia gravis, Multipel sklerosis.

X.KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering timbul adalah kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis dan spasme otot-otot wajah. Sedangkan komplikasi yang jarang terjadi adalah fenomena air mata buaya dan neuralgia genikulatum (1,2,3,4)
XI. PENGELOLAAN (1,2,4,7)
1. Medikamentosa.
Untuk menghilangkan penekanan dapat diberikan prednisone dan antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari sejak awitan. Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja.
a. Kortikosteroid.
Kortikosteroid oral sering diresepkan untuk mereduksi inflamasi nervus fasialis pada pasien Bell’s palsy. Prednison dapat diberikan dengan dosis awal 60 mg, kemudian di tapering.
b. Antiviral
Famsiklovir dan asiclovir sering diresepkan sebagai obat antiviral. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 2.
c. Neurotropik.
2. Rehabilitasi medik.
a. Terapi panas b. Masase.
c. Biofeed back d. PNF (Proprioseptive Neuromuskular Facilitation).
e. Pemasangan Y plester f. Psikoterapi.
g. Stimulasi listrik
3. Perawatan mata.
4. Pembedahan.

XII. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien yang sembuh dari Bell’s Palsy mengalami neuropraksia atau hambatan konduksi saraf fokal. Pasien yang mengalami aksonotmesis memiliki kesembuhan yang baik tetapi tidak sempurna.
Perbaikan fungsi otot-otot wajah dalam 3 minggu pertama setelah onset terjadi pada 85% kasus, sedangkan 15% kasus terjadi perbaikan fungsi otot-otot wajah dalam 3 bulan. Penyembuhan baru terjadi bila ada regenerasi yang sempurna. Regenerasi ini memerlukan waktu yang lama. Kira-kira 70% dari seluruh kasus sembuh total. Sisanya sebanyak 30% mengalami gejala sisa seperti kelemahan, hiperkinesia, kontraktur atau sinkinesis.
Derajat kesembuhan tergantung usia, pada penderita usia lanjut mengalami tingkat kesembuhan yang lebih jelek. Pada penderita hipertensi dan DM memiliki kecenderungan menderita Bell’s Palsy 4,5 kali lebih besar, tetapi hubungan antara hipertensi dan DM dengan terjadinya Bell’s Palsy belum diketahui dan belum ada data yang menyebutkan tentang prognosisnya.
Faktor resiko yang diperkirakan berhubungan dengan prognosis buruk adalah :
1. Usia > 60 tahun
2. Paralisis lengkap
3. Penurunan rasa kecap atau air liur mengalir ke sisi yang lumpuh ( biasanya 10 – 25% dibandingkan dengan sisi yang normal ).
Faktor lain yang diperkirakan berhubungan dengan prognosis buruk termasuk nyeri di bagian telinga posterior dan penurunan sekresi air mata. Pasien biasanya memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa kelainan. pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 40% untuk sembuh dan 60% mengalami sequele. Bell’s palsy dapat recuren pada 10-15% pasien. Hampir 30% pasien dengan kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada nervus VII atau kelenjar parotis.

DAFTAR PUSTAKA

1. J. Sabirin. Bell's Palsy dalam Simposium Gangguan Gerak, Cetakan ke-2 Semarang,1996: 163-72.
2. Allan H. Ropper, Maurice Victor, Adams Principles of Neurology, 7th ed, Singapore: Mc Graw Hill Inc. 2001: 294, 1452-54.
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar : PT Dian Rakyat,1989: 159-63.
4. Adour KK : Current Concept in Neurology, Diagnosis and Management of Facial paralysis. Engl J Med 1982: 307, 348-51.
5. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam praktek Umum , PT Dian Rakyat,1985: 403-4.
6. Aminof J, Greenberg A, Simon P. Clinical Neurology , Sixt Edition : 182.
7. Gilden H M.D, Bell's Palsy a Clinical Practise : The New England Journal of Medicine , 2004: 1321-31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar