Minggu, 28 Agustus 2011

spasmofilia

SPASMOFILIA
PENDAHULUAN
Spasmofilia merupakan istilah yang sangat popular pada permulaan abad 20 dan masih sering digunakan , di mana keadaan ini merujuk pada suatu keadaan terdapatnya gejala subjektif yang samar-samar berupa nyeri perut, nyeri kepala, kelelahan, gugup, vertigo, kesemutan, berdebar, sesak, tercekik, muntah, kehilangan berat badan, nyeri punggung dan nyeri haid yang disertai tanda-tanda tetani laten dengan atau tanpa memperlihatkan telani hiperventilasi.
Tetani laten adalah suatu keadaan di mana saraf sargat peka terhadap keadaan iskemik (tanda Trousseau, spasme karpal), perkusi saraf (tanda Chvostek), stimulasi listrik (tanda Erb), atau alkalosis (spasme karpal) dan tanda-tanda ini sangat umum didapat pada, orang-orang yang mengalami tetani oleh sebab apapun.
Dalam kamus kedokteran, spasmofilia diartikan sebagai suatu keadaan di mana saraf motorik memperlihatkan sensitivitas yang abnormal terhadap rangsangan mekanik atau listrik dan penderita menunjukkan kemudahan untuk mendapatkan spasme, tetani dan kejang. Spasmofilia atau tetani laten, telah lama dikenal sebagai gangguan neurovegetatif yang ditandai suatu keadaan hiperiritatif neuromuskuler disertai tanda klinis, listrik dan humoral yang khas. Di sini keadaan hiperiritatif neuromuskuler merupakan sifat dasar spasmofilia. Pada keadaan spasmofilia ditemukan hipokalsemi sebagai inti gangguan pada susunan saraf, walaupun pada keadaan tetani laten yang idiopati kadar kalsium dalam darah hampir selalu normal sehingga bentuk ini dinamakan juga spasmofilia.
Keadaan hiperiritatif susunan saraf pada spasmofilia sangat mencolok, hal ini tampak bahwa kekuatan listrik galvanik terkecil masih memberikan suatu reaksi. Spasmofilia yang merupakan suatu keadaan hiperiritabel neuromuskuler dan memberikan beragam gambaran klinis dapat dideteksi dengan baik oleh alat elektromiografi.
Pada pemeriksaan elektromiografi stimulus atau rangsangan akan menimbulkan suatu potensial berupa gelombang listrik. Intensitas rangsangan supra maksimal yang berbeda dapat memberi gelombang potensial listrik yang berbeda pula. Penderita tertentu dapat sangat peka terhadap stimulasi listrik dan hal ini berkaitan dengan keadaan spasmofilia atau tetani laten.
PATOFISIOLOGI
Hipokalsemia yang sering terjadi pada spasmofilia atau tetani laten terjadi akibat kelainan sistem regulasi homeostatik konsentrasi kalsium darah. Di dalam darah, 45% total kalsium darah terikat dengan albumin, 10% sebagai ion kompleks dan 45% sisanya dalam bentuk ion. Fraksi ion yang diatur oleh hormon paratiroid dan vitamin D ini ternyata sangat berpengaruh terhadap fungsi neuromuskuler dan neuropsikiatrik. Secara fisiologis dan klinis, hipokalsemi sering terjadi karena kekurangan hormon paratiroid, vitamin D, metabolit aktifnya atau respon yang abnormal dari tulang, usus dan ginjal (target organ). Gejala dan tanda akan limbul bila konsentrasi ion kalsium dalam darah di bawah 4 mg/dl atau 2 meg/l, dan ini kira-kira kurang dari 8 mg/dl total kalsium. Pada hipokalsemi yang kronik, sering didapatkan kadar kalsium darah sekitar 5-6 mg/dl dan ini biasanya asimptomatik.
Rangsangan neuromuskuler diatur menurut hukum LOEB di mana ada keseimbangan antara ion K, Na, OH di satu pihak dengan ion Ca, Mg, H di lain pihak. Penurunan kadar kalsium atau jumlah kalsium total dalam darah akan menuju ke arah hipereksitasi dalam arti praktis hanya perlu pemeriksaan hipokalsemi yang merupakan tanda pokok.
Tempat asal aktivitas tetani masih diselidiki, yang jelas bahwa tempatnya bukanlah pada otot itu sendiri dan diduga jaringan saraf yang berperan dalam aktivitas tetani adalah pusat spinal, motor end plate atau motorneuron di kornu anterior, sedangkan para psikolog menganggap bahwa hiperiritabel neuromuskuler merupakan suatu fenomena perifer yang meliputi motor¬neuron sampai motor end plate.
Konsentrasi kalsium pada cairan serebrospinalis ternyata tetap konstan pada keadaan hipokalsemi dan hiperkalsemi, di sini mungkin faktor lain berperanan penting dalam mengatur jumlah kalsium pada jaringan otak. Perubahan kadar kalsium ternyata tidak menunjukkan perubahan pada elektroensefalografi.
Keluhan neurologi atau neuromuskuler paling sering sebagai manifestasi dari keadaan hipokalsemi kronis yang tidak diobati.
GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis yang sering dikeluhkan sangat bervariasi dan tidak khas misalnya, spasme laring, spasme karpopedal, epilepsi, migren psikotik, nyeri perut, nyeri kepala, kelelahan, ketakutan, emosi labil, vertigo, nyeri haid, kram otot, dan lainnya.
Serangan yang khas biasanya didahului oleh perasaan tingling pada ekstremitas terutama tangan dan daerah mulut disertai oleh parestesi di bibir dan lidah.
Perasaan tingling ini bertambah nyata dan menyebar ke proksimal sampai daerah muka, beberapa saat kemudian timbul rasa tegang dan spasme pada otot-otot mulut, tangan dan tungkai bawah. Keadaan spasme ini juga meluas sampai ke muka bahkan ke bagian tubuh lainnya.
Kontraksi tonik pada otot-otot distal lengan dan otot-otot interosel menyebabkan gambaran spasme karpopedal di mana jari-jari dalam keadaan fleksi pada persendian metakarpofalangeal dan ekstensi pada sendi interfalangeal. Jari-jari dalam keadaan aduksi dan ibu jari dalam keadaan aduksi dan ekstensi sedangkan pada kaki dijumpai plantar fleksi dipergelangan kaki dan aduksi jari-jari kaki.
Pada rangsangan yang lebih hebat, otot-otot yang spasme menjadi lebih luas, pada ekstrimitas atas siku menjadi fleksi; dan bahu mengalami aduksi. Pada tungkai terjadi fleksi sendi lutut dan aduksi paha. Otot-otot kepala juga mcngalarni spasme dengan trismus dan retraksi pada sudut mulut (risus sardonikus) mata agak tertutup (blefarospasme) dan bila otot-otot bulber kena terutama laring maka terjadi laringospasme dengan stridor. Spasme pada otot-otot tubuh dan leher rnemberi gambaran opistotonus serta sering didapatkan kejang tonik klonik.
Dalam bentuk yang laten dapat memberi gambaran hiperiritabel neuromuskuler dalam beberapa bentuk yaitu bentuk viseral berupa gangguan digestif dengan kolik lambung dan muntah, bentuk neurologis berupa serangan tetani dengan kejang epilepsi dan penurunan kesadaran, sakit kepala, sedangkan bentuk lain berupa bentuk neuropsikotik.
ETIOLOGI
Meskipun pengaruh faktor-faktor psikik sangat jelas, namun tidak dapat dianggap sebagai suatu penyakit neurotik atau neurastenik. Dengan ditemukannya hipokalsemia dan hipomagnesia pada para penderita spasmofilia harus difikirkan adanya suatu gangguan metabolik dari kation-kation tersebut pada susunan saraf sebagai inti gangguannya.
Hipokalsemi dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan defisiensi vitamin D, defisiensi hormon paratiroid, pankreatitis akut, hiperfostatemia, defisiensi magnesium, sekresi berIebih hormon adrenokortikal, keganasan, sindrom nefrotik, obat-obatan, transfusi darah, kehilangan kalsium melalui urin, kondisi alkalosis (alkali, hiperventilasi, obstruksi saluran cerna), kebutuhan kalsium yang meningkat dan sepsis.
PEMERIKSAAN
Selain pemeriksaan elektromiografi pada penderita spasmofilia, dapat diperiksa lebih dahulu tanda fisik yang berhubungan dengan hiperiritabel sistem neuromuskuler.
Pemeriksaan tersel)ut antara lain: tanda Erbs (arus galvanik), tanda Hoffman (mekanik, elektris, tanda Kashida (termik), tanda Pool (tegangan), tanda Schlesinger (tegangan), tanda Schultze (ketukan), tanda Lust (ketukan) dan tanda Hochisngers.
Salah satu tanda yang penting adalah tanda Chvostek yang ditimbulkan melalui ketukan pada bagian lunak dari pertengahan garis ujung telinga ke ujung mulut tepat di bawah apophyse zygomaticus. Reaksi positif terdiri atas kontraksi muskulus orbikularis oris yang terutama nyata pada bagian tengah bibir. Bila tanda ini meragukan sebaiknya dilakukan dahulu hiperventilasi. Tanda Chvostek ini dikenal ada 3 tingkatan yaitu :
1. bila reaksinya hanya di bibir
2. bila reaksinya menjalar ke ujung hidung
3. bila seluruh muka ikut berkontraksi
Tanda lain yang tak kalah pentingnya adalah tanda Trousseau, kompresi lengan atas, baik dengan cara meremas atau mengikat dengan torniket atau manset tensimeter, di mana mula-mula timbul rasa kesemutan pada distal ekstremitas, kemudian timbul kejang pada jari-jari dan tangan yang membentuk suatu konus. Modifikasi tehnik ini dengan tehnik Von Bonsdorff di mana manset tensimeter diperrtahankan selama 10 menit kemudian dibuka dan dilakukan hiperventilasi akan mengakibatkan spasme yang khas (spasme karpopedal) yang lebih cepat pada lengan yang iskemik dibanding dengan lengan yang lain.
ELEKTROMIOGRAFI
Turpin dan Kugelberg adalah orang yang pertama kali meneliti tentang elektromiografi pada penderita tetani.
Spasme pada tetani selain disertai aksi potensial yang repetitif dan ireguler pada motor unit, dan pada saat tetani selalu motor unit potensial akan melepaskan muatan secara spontan berkekuatan 5-15 Hz.
Gambaran elektromiografi pada spasmofilia merupakan gambaran yang khas dari manifestasi neuromuskuler perifer dan dimulai dengan adanya fibrilasi dan fasikulasi serta bersamaan dengan meningkatnya frekuensi akan terlihat twitching otot.
Gambaran khas tersebut berupa gambaran-gambaran doublets, triplets, bahkan multiplets, pada monitor yang merupakan potensial aksi yang repetitif di mana gelombang yang belakangan cenderung mempunyai amplitudo yang lebih besar.
Gambaran ini diduga ada hubungannya dengan tempat di kornu anterior dan beberapa peneliti menduga hal ini sebagai suatu fenomena perifer yang meliputi motor neuron sampai motor end plate, walaupun secara keseluruhan belum jelas benar mekanismenya.
Gambaran elektromiografi yang khas ini tidak pada keadaan hiperiritabel lainnya.
Derajat spasmofilia dapat dibagi dalam beberapa tingkat dengan melihal gambaran elektromlografi yang dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan Trousseau dan hiperventilasi yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat.
+  ringan : 2-6 potensial repetitif yang berlangsung selama masa lebih dari 2 menit setelah hiperventilasi.
++  sedang : banyak kelompok potensial repetitif yang berlangsung lebih dari 2 menit setelah hiperveutilasl atau 2-6 potensial repetitif selama masa lebih dari 2 menit setelah iskemik.
+++  berat : tetani yang nyata setelah hiperventilasi atau lebih dari 6 kelompok potensial repetitif permenit selama sekurang - kurangnya 2 menit setelah iskemik 10 menit.
++++  sangat berat : tetani yang nyata atau kelompok potensial repetitif yang terjadi selama fase iskemik
Gambar spasmofilia

DIAGNOSIS SPASMOFILIA
Diagnosis spasmofilia dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis dan laboratoris, pemeriksaan penunjang elektromiografi.
Pada anamnesis, didapatkan penderita dengan keluhan-keluhan nyeri kepala, nyeri perut, nyeri haid, kram otot, epilepsi, migren, vertigo, ketakutan emosi yang labil, kesemutan, bahkan pada penderita dengan gejala-gejala psikotik.
Dari pemeriksaan fisik neurologis sangat mungkin timbul tanda-tanda hiperiritabel neuromuskuler. Di samping tanda-tanda Erbs, Hoffman, Weiss, Lust dan lain-lain, yang sangat penting adaah tanda fasial dari Chvostek, tanda Trousseau, serta pemeriksaan hiperventilasi.
Pemeriksaan laboratoris terutarna ditunjukkan pada pemeriksaan ion-ion kalsium, magnesium serta pemeriksaan lain misalnya kalium, fosfat dan analisa gas darah.
Yang paling penting adalah pemeriksaan elektromiografi di mana gambaran doublets, triplets dan multiplets yang merupakan manifestasi hiperiritabel saraf dan sensitivitas saraf adalah khas untuk spasmofilia.
PENGOBATAN
Pada keadaan akut dapat diberikan kalsium, terutama kalsium glukonas 10% sebanyak 10-20 mililiter intravena atau secara oral diberikan kalsium laktat 12 gram/hari atau kalsium glukonas 16 gram/hari. Bila hipokalsemi sangat berat dapat diberikan 100 milliliter kalsium glukonas 10% dalam 1 liter dektrose 5% secara lambat, lebih dari 4 jam.
Bila masih belum dapat mengatasi tetani, dapat diberikan magnesium karena tetani sering berhubungan dengan hipomagnesia dengan dosis 2 mililiter magnesium sulfat 50% secara intra muskuler.
Di samping hal tersebut di atas, dapat diberikan juga hidroklortiazid (HCT) dengan dosis 50-100 miligram/hari, vitamin D, koreksi pH darah bila ada alkalosis dan hormon paratirold.
Sebagai tambahan dapat diberikan obat-obat penenang. Tizanidine, bekerja sebagai miotonolitik untuk mengatasi spasme dan juga berefek analgesik.

BELL'S PALSY

BELL'S PALSY

I.DEFINISI
Bell’s Palsy (BP) adalah kelumpuhan N. VII (saraf fasialis) perifer, sebagai akibat inflamasi non supuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema pada bagian nervus fasialis dalam foramen stilomastoid atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, bersifat akut, dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, umumnya unilateral, penyebabnya tidak diketahui. (1,2,3)
II.EPIDEMIOLOGI
Insidens Bell’s Palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderitanya tidak hanya berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat ke dokter umum, THT maupun mata. Kurang lebih terdapat 19,55% kasus Bell’s Palsy dari keseluruhan kasus neuropati. Bell’s Palsy dapat mengenai semua umur, umumnya menyerang usia 20-50 tahun, lebih sering pada wanita daripada pria. Pada penderita DM insiden lebih tinggi. Tidak ada perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan (1,2,3).
III.ANATOMI
Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus intermedius yang tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan lidah ke nukleus traktus solitarius.
Inti motorik nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral tegmentum pontis bagian kaudal. Inti dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dorsal dan ventral. Kelompok dorsal inti nervus fasialis mensarafi otot-otot frontalis, zygomatikus, belahan atas orbikularis okuli dan bagian atas otot wajah. Inti ini mempunyai inervasi kortikal secara bilateral. Kelompok ventral inti nervus fasialis mensarafi otot-otot belahan bawah orbikularis okuli, otot wajah bagian bawah dan platisma. Inti ini mempunyai hubungan hanya dengan korteks motorik sisi kontralateral.


Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru membelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu ia berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius. Bertiga mereka masuk ke dalam liang os petrosum melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar dari os petrosum kembali dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia turun, sedikit membelok ke belakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat ia turun ke bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan tergabung dengan ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari serabut penghantar impuls pengecap yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus intermedius. Disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang kepada ganglion otikum dan sfenopalatinum yang menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar lendir. Liang os petrosum yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus Falopii atau kanalis fasialis. Disitu nervus fasialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini menuju ke tepi atas gendang telinga dan membelok ke depan.
Melalui kanalikulus anterior ia keluar dari tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus. Di situ korda timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nervus mandibularis. Korda timpani menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian depan lidah. Sebagian saraf motorik mutlak nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideum dan memberikan cabang-cabang kepada otot stilohioid dan venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis. Pangkal sisanya menuju ke glandula parotis. Di situ ia bercabang-cabang lagi untuk mensarafi otot wajah dan platisma.
Nervus fasialis yang melintasi jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi untuk mensarafi seluruh otot wajah. Adapun otot-otot tersebut mempunyai arti klinis penting ialah :
a. Otot frontalis : berfungsi mengangkat alis, mengerutkan dahi
b. Otot corrugator supercilii : berfungsi menggerakkan kedua alis mata ke medial bawah sehingga terbentuk kerutan vertikal diantara kedua alis
c. Otot procerus : berfungsi mengangkat tepi lateral cuping hidung sehingga terbentuk kerutan diagonal sepanjang pangkal hidung
d. Otot nasalis : berfungsi melebarkan/ mengembangkan cuping hidung
e. Otot orbikularis oculi : berfungsi menutup mata/ memejamkan mata
f. Otot orbicularis oris : berfungsi menggerakkan mulut / mecucu / bersiul / mengecup
g. Otot levator labii superioris : berfungsi untuk mengangkat bibir atas dan melebarkan lubang hidung
h. Otot levator anguli oris : berfungsi untuk mengangkat sudut mulut
i. Otot zygomatikus minor : berfungsi untuk memoncongkan bibir atas
j. Otot zygomaticus mayor : berfungsi untuk gerakan tersenyum
k. Otot risorius : berfungsi untuk gerakan meringis
l. Otot businator : berfungsi untuk gerakan meniup dengan kedua bibir dirapatkan
m. Otot levator mentalis : berfungsi mengangkat dan menjulurkan bibir bawah
n. Otot depresor anguli oris dan platysma : berfungsi untuk menarik sudut mulut kebawah dengan kuat akan tampak kontraksi otot platysma terutama di daerah leher.




Gambar 1. Perjalanan nervus fasialis

IV.ETIOLOGI
Penyebab Bell’s Palsy sampai saat ini belum diketahui secara pasti, ada 4 teori yang diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy (1,2,4,6)
1. Teori Iskemik Vaskuler.
Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan sirkulasi darah di kanalis fasialis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, tidak karena akibat tekanan langsung pada sarafnya. Respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arteriolar dan stasis vena pada bagian bawah kanalis fasialis yang kemudian menimbulkan edema sehingga menambah kompresi terhadap suplai darah dan menambah iskemi. Terjadinya vasokonstriksi arteriole yang melayani N. VII, sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat sehingga terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler serta venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
2. Teori Infeksi Virus.
Terjadi karena proses reaktivasi virus herpes simplex (tipe I). Sesudah suatu infeksi akut primer dalam jangka waktu cukup lama, dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi terjadi jika daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis /neuropati dengan proses inflamasi timbul edema dan terjadi gangguan vaskuler yang akhirnya menimbulkan degenerasi lebih lanjut pada N VII perifer.
3. Teori Herediter.
Ada 6% penderita BP yang kausanya herediter, yaitu autosomal dominan. Hal ini berhubungan dengan kelainan anatomi, yaitu terdapatnya kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi terjadinya Bell's Palsy.
4. Teori Imunologi.
Dikatakan bahwa Bell's Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema, serta juga sebagai imunosupresor.

V. PATOGENESIS
a. Tipe I
Pada tipe ini mengalami paresis ringan dan sebagian mengalami kelumpuhan komplit.
Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik. Blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksi) adalah akibat dari kompresi yang mendadak karena edema disekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah. Namun teori ini belum dapat dibuktikan. Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler-kapiler oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.
b. Tipe II.
Ditandai oleh timbulnya sinkinesis dan gejala sisa lain, yang mungkin akibat dari degenerasi saraf sinkinesis ini terjadi oleh karena impuls dari satu akson yang dapat menyebar ke akson berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain.
c. Tipe III.
Penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi karena cedera akson dalam segmen labirin nervus fasialis. Ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh virus varicella zooster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori ke korda 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibuler sehingga menyebabkan hambatan pengantar akson, kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.
VI. GAMBARAN KLINIS
Biasanya timbul secara mendadak, penderita merasakan ada kelainan di mulut saat bangun tidur, menggosok gigi, berkumur, minum, berbicara atau diberitahu orang lain bahwa salah satu sudut mulutnya lebih rendah. Dapat juga berkembang perlahan¬-lahan, biasanya kurang dari 4 hari. Umumnya mengenai satu sisi dan jarang sekali yang mengenai kedua sisi. Gambaran klinisnya dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena maka ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura palpebra, melebar, serta kerut dahi menghilang. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmus), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata terputar keatas (tanda Bell : lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata ). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora.
Pada waktu bernafas maka pipi sisi lumpuh akan menggembung, hal ini disebabkan karena kelumpuhan dari otot bucinator Penderita tidak dapat bersiul atau meniup. Bila berkumur atau minum maka air akan keluar melalui sisi mulut yang lumpuh, makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi (1,2,3,4).
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N. intermedius. Dan bila saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri.
Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimmer.
Gejala yang ditimbulkan tergantung letak dari lesi :
Tinggi Lesi Kelumpuhan wajah sesisi Ageusis Hiperakusis Hiposekresi lacrimalis
Pons-meatus akust int + + + +
Meatus akust int-ggl gen + + + +
Ggl gen-n. stapedius + + + -
n. stapedius-khorda thy + + - -
Khorda thym-for stiloma + - - -

VII. FAKTOR PREDISPOSISI (1,2,4,5)
a. Pemaparan udara dingin.
b. Diabetes Melitus.
c. Faktor herediter.
d. Penyakit vaskuler.
e. Kelainan imunologis.
f. Hipertensi dan DM.

VIII. DIAGNOSIS (1,2,4)
Untuk menegakkan diagnosisi BP dibutuhkan beberapa pemeriksaan, antara lain :
a. Pemeriksaan neurologi dengan penekanan pada kelainan saraf kranialis.
Metode penilaian kekuatan otot fasialis antara lain skala UGO FISCH dinilai kondisi simetris-asimetris antara sisi sakit dengan sisi sehat pada 5 posisi yaitu istirahat (20), mengangkat alis (10), menutup mata (30), tersenyum (30), bersiul (10).
Penilaian persentase :
0% : asimetrik komplit, tidak ada gerakan volunter
30% : simetris : poor/jelek, kesembuhan yang ada, lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal
70% : simetris : fair/ cukup, kesembuhan parsial yang lebih cenderung kearah normal
100% : simetris normal/ komplit
b. Pemeriksaan EMG.
c. Pemeriksaan telinga dan audiometri
Untuk menyingkirkan adanya infeksi telinga tengah dan kolesteatoma.
d. Pemeriksaan mata (tes Schimmer).
Berkurangnya airmata menunjukkan level lesi trans atau supragenikulatum. Maka selain gangguan lakrimasi juga terdapat gangguan pada semua cabang distal dari ganglion genikulatum.
e. Tes sekresi kelenjar ludah submaksilaris.
Untuk mengetahui fungsi chorda tympani dan dianggap lebih obyektif
Saliva bagian sakit
------------------------ x 100%
Saliva bagian sehat
Kriteria Blatt
 >40% : dapat diharapkan sembuh sempuma
 25-40 % : tiap minggu diperiksa ulang dan bila dalam 3 minggu tidak mencapai
 >40% atau malah turun maka diperlukan tindakan operasi
 11-25 % : tiap minggu periksa ulang dan bila dalam 2 minggu tidak mencapai 40% perlu tindakan operasi
f. Pemeriksaan radiologis : X foto os temporalis dan mastoid, untuk untuk melihat kemungkinan infeksi mastoid dan fraktura os temporalis.
g. Pemeriksaan tambahan yang lain (lab. darah, titer virus dalam darah).

IX. DIAGNOSIS BANDING (1,2,4)
BP harus dibedakan dengan keadaan-keadaan atau penyakit lain yang dapat menyebabkan paresis n. fasialis perifer yaitu :
a. Herpes zooster otikus ( Ramsay Hunt Syndrome ).
b. Otitis media purulenta, mastoiditis, kolesteatoma.
c. Tumor intra kranial.
d. Trauma ( trauma operasi, trauma kapitis ).
e. SGB, Miastenia gravis, Multipel sklerosis.

X.KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering timbul adalah kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis dan spasme otot-otot wajah. Sedangkan komplikasi yang jarang terjadi adalah fenomena air mata buaya dan neuralgia genikulatum (1,2,3,4)
XI. PENGELOLAAN (1,2,4,7)
1. Medikamentosa.
Untuk menghilangkan penekanan dapat diberikan prednisone dan antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari sejak awitan. Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja.
a. Kortikosteroid.
Kortikosteroid oral sering diresepkan untuk mereduksi inflamasi nervus fasialis pada pasien Bell’s palsy. Prednison dapat diberikan dengan dosis awal 60 mg, kemudian di tapering.
b. Antiviral
Famsiklovir dan asiclovir sering diresepkan sebagai obat antiviral. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 2.
c. Neurotropik.
2. Rehabilitasi medik.
a. Terapi panas b. Masase.
c. Biofeed back d. PNF (Proprioseptive Neuromuskular Facilitation).
e. Pemasangan Y plester f. Psikoterapi.
g. Stimulasi listrik
3. Perawatan mata.
4. Pembedahan.

XII. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien yang sembuh dari Bell’s Palsy mengalami neuropraksia atau hambatan konduksi saraf fokal. Pasien yang mengalami aksonotmesis memiliki kesembuhan yang baik tetapi tidak sempurna.
Perbaikan fungsi otot-otot wajah dalam 3 minggu pertama setelah onset terjadi pada 85% kasus, sedangkan 15% kasus terjadi perbaikan fungsi otot-otot wajah dalam 3 bulan. Penyembuhan baru terjadi bila ada regenerasi yang sempurna. Regenerasi ini memerlukan waktu yang lama. Kira-kira 70% dari seluruh kasus sembuh total. Sisanya sebanyak 30% mengalami gejala sisa seperti kelemahan, hiperkinesia, kontraktur atau sinkinesis.
Derajat kesembuhan tergantung usia, pada penderita usia lanjut mengalami tingkat kesembuhan yang lebih jelek. Pada penderita hipertensi dan DM memiliki kecenderungan menderita Bell’s Palsy 4,5 kali lebih besar, tetapi hubungan antara hipertensi dan DM dengan terjadinya Bell’s Palsy belum diketahui dan belum ada data yang menyebutkan tentang prognosisnya.
Faktor resiko yang diperkirakan berhubungan dengan prognosis buruk adalah :
1. Usia > 60 tahun
2. Paralisis lengkap
3. Penurunan rasa kecap atau air liur mengalir ke sisi yang lumpuh ( biasanya 10 – 25% dibandingkan dengan sisi yang normal ).
Faktor lain yang diperkirakan berhubungan dengan prognosis buruk termasuk nyeri di bagian telinga posterior dan penurunan sekresi air mata. Pasien biasanya memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa kelainan. pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 40% untuk sembuh dan 60% mengalami sequele. Bell’s palsy dapat recuren pada 10-15% pasien. Hampir 30% pasien dengan kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada nervus VII atau kelenjar parotis.

DAFTAR PUSTAKA

1. J. Sabirin. Bell's Palsy dalam Simposium Gangguan Gerak, Cetakan ke-2 Semarang,1996: 163-72.
2. Allan H. Ropper, Maurice Victor, Adams Principles of Neurology, 7th ed, Singapore: Mc Graw Hill Inc. 2001: 294, 1452-54.
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar : PT Dian Rakyat,1989: 159-63.
4. Adour KK : Current Concept in Neurology, Diagnosis and Management of Facial paralysis. Engl J Med 1982: 307, 348-51.
5. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam praktek Umum , PT Dian Rakyat,1985: 403-4.
6. Aminof J, Greenberg A, Simon P. Clinical Neurology , Sixt Edition : 182.
7. Gilden H M.D, Bell's Palsy a Clinical Practise : The New England Journal of Medicine , 2004: 1321-31.

meralgia parestetika

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. DEFINISI
Meralgia paraesthetica (MP), atau juga dikenal sebagai jebakan nervus cutaneus femoris lateralis (NFCL), adalah suatu kondisi yang ditandai dengan nyeri, mati rasa, rasa terbakar, dan rasa geli pada bagian anterior dan lateral paha, antara ligamentum ingunale dan lutut. Pada tahun 1878, Bernhardt pertama kali menggambarkan gejala yang berkaitan dengan meralgia paraesthetica. Tahun 1885, Hagar menjelaskan bahwa kompresi nervus cutaneus femoris lateralis adalah sumber gejala kompleks ini. Satu decade berikutnya, Roth menciptakan istilah meralgia paraesthetica dari bahasa Yunani yang terdiri dari empat kata, yang bila digabungkan bersama-sama menyatakan "rasa nyeri pada paha yang disertai dengan anomali persepsi".1,2
Mononeuropati dari nervus cutaneus femoris lateralis , meralgia paresthetica umumnya disebabkan karena jebakan fokal saraf ini saat melewati ligamentum inguinal. Jebakan ini jarang terjadi karena etiologi lain seperti trauma langsung, cedera regangan, atau iskemia. Fungsi NFCL dapat terganggu oleh penekukan berlebihan atau kompresi struktur anatomi sekitarnya terutama masa kehamilan atau kondisi lain yang menyebabkan lordosis lumbal yang berlebihan.3 Anamnesis dan pemeriksaan klinis biasanya cukup untuk membuat diagnosis. Namun, diagnosis dapat dipastikan dengan studi konduksi saraf. Nevus cutaneus femoralis lateralis bertanggung jawab untuk sensasi anterolateral paha. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni dan tidak memiliki komponen motorik.4










1.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi meralgia paraesthetica diperkirakan 3 – 4.3 per 10.000 penduduk, dan dilaporkan mencapai 7 - 35% mengalami rasa tidak nyaman pada tungkai. Meralgia paraesthetica umumnya unilateral akan tetapi dapat juga bilateral bahkan mencapai hampir 50% kasus. 5,6 menurut Luzzio C et al , 20 % dikatakan memiliki gejala bilateral.7 Sedangkan menurut Ratliff et al, keterlibatan sisi kanan 36 % dan kiri 38 % sedangkan 22% kasus menunjukkan gejala terjadi bilateral.
Ras
Tidak diketahui apakah terdapat predileksi ras tertentu.
Jenis Kelamin
Menurut Ratliff et al, insidensi terbanyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 2.8 : 1
Umur
Terbanyak pada usia pertengahan, walaupun dilaporkan kejadan meralgia paresthetica dapat terjadi pada semua kelompok umur.











BAB II
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
2.1. ANATOMI
Nervus cutaneus femoris lateralis adalah saraf yang berasal dari pleksus lumbalis, divisi dorsal kedua dan ketiga saraf lumbalis. Muncul dari batas lateral m.psoas mayor di sekitar bagian tengahnya, dan melintas miring m. iliacus, menuju spina iliaca anterior superior (SIAS).


Gambar 1. Perjalanan nervus cutaneus femoris lateralis

Gambar 2. Nervus cutaneus femoris lateralis dan struktur lain yang melintas di antara ligamentum inguinal kiri dengan ilium. Dilihat dari atas.
Saraf ini kemudian lewat di bawah ligamentum inguinal dan menyilang m.sartorius menuju paha. Di sini kemudian terbagi menjadi cabang anterior dan posterior. Cabang anterior menjadi lebih dangkal lebih kurang 10 cm distal ligamentum inguinalis, dan terbagi menjadi cabang-cabang yang didistribusikan ke kulit anterior dan lateral paha, sampai lutut. Filamen terminal saraf ini sering berhubungan dengan cabang-cabang cutaneus anterior nervus femoralis dan dengan cabang infrapatellar nervus saphenus, membentuk pleksus peripatellar.

Gambar 3 . Pleksus Lumbalis Gambar 4. Distribusi Sensorik Nervus Cutaneus Femoris Lateralis
Cabang posterior menembus fascia lata, dan subdivisi yang berjalan ke belakang melintasi permukaan lateral dan posterior paha, menginervasi kulit setinggi trokanter mayor sampai paha bagian tengah. Keseluruhan serabut saraf aferen dan membawa sensasi kulit paha bagian antero-lateral. 8
Beberapa variasi anatomi penting untuk diketahui sebagai pertimbangan untuk melakukan tindakan bedah pada rongga pelvis untuk mengurangi resiko terjadinya MP.9

Gambar 5. Variasi Anatomi n. cutaneus femoris lateralis
A. Perjalanan normal nervus cutaneus femoris lateralis
B. NCFL melintas melalui belahan ligamentum inguinalis
C. NCFL melintas di lateral Spina Iliaca Anterior Superior ( seperti duduk mengangkang di pelana kuda)





2.2. PATOGENESIS7,8,9
Jebakan nervus cutaneus femoris lateralis dapat terjadi pada 3 tempat potensial
1. Di samping kolumna spinalis
2. Dalam cavum abdomen dimana nervus melintas sepanjang pelvis
3. Sewaktu nervus keluar dari pelvis
Tempat ketiga ini adalah yang paling sering terjadi dimana jebakan saraf mungkin melibatkan m.sartorius atau mungkin disebabkan kompresi superficial sederhana dekat crista iliaca dan SIAS oleh pakaian yang ketat atau trauma.

Gambar 6. Kompresi nervus cutaneus femoris lateralis oleh ligamentum inguinale
Penekukan nervus cutaneus femorius lateralis melintasi crista iliaca terjadi akibat tenaga kompresi dengan reposisi postural. Sebuah pendapat mengatakan bahwa ikatan fibrosa dalam fascia menyebabkan gangguan daya regang nervus cutaneus femoris lateralis. Saraf yang melintas pada lintasan superficial ketika memasuki kompartemen paha membuatnya cenderung mudah mendapat trauma akibat kompresi pada tulang di bawahnya. 10
Gerakan pinggul dengan perubahan angulasi dan regangan saraf, yang dapat mempengaruhi gejala yang terjadi. Sebagai contoh, ekstensi pangkal paha dapat meningkatkan angulasi dan regangan saraf, sedangkan fleksi dapat mengurangi kekuatan tersebut.
Beberapa proses dapat menimbulkan gangguan pada nervus cutaneus femoris lateralis sepanjang perjalanannya yang menyebabkan gangguan sensorik yang dirasakan pada distribusi kutaneusnya. Proses-proses dibawah ini dapat menyebabkan meralgia paresthetica dan proses patologis yang membangkitkan gejala berkaitan dengan lesi pada tempat tertentu sepanjang nervus.
• Trauma
 Kompresi akut pada NCFL pada ligamentum inguinalis dari tekanan sabuk pengaman pada kecepatan tinggi saat kecelakaan kendaraan bermotor.
 Fraktur pelvis
 Peninggian pelvis sesisi karena pemendekan salah satu tungkai, duduk bersila terlalu lama. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan jaringan di bawah ujung lateral ligamentum inguinale atau fascia lata berproliferasi dan menjerat serabut-serabut nervus cutaneus femoris lateralis.
• Iatrogenik – perlukaan pada NCFL dilaporkan setelah menjalani prosedur operasi
 Pencangkokan tulang crista iliaca
 Osteotomi pelvis
 Operasi shelf pada insufisiensi acetabulum
 Diseksi nodus limfatikus inguinal
 Appendektomi
 Histerektomi total abdominal.
• Mekanikal retroperitoneal subakut – proses ini dapat menyebabkan pleksopati
 Invasi tumor
 Hemoragik
 Abses
• Obstetri dan ginekologi
 Endometriosis – nyeri MP berulang dan berkurang saat menstruasi
 Kompresi fetus selama trimester kedua dan ketiga.
• Kompresi mekanik kronik dan subakut atau peregangan pada ligamentum inguinale
 Pakaian ketat pinggang
 Penahan, pembebatan
 Ikat pinggang tukang kayu, polisi
 Ikat pinggang pembawa bendera
 Kegemukan (Obesitas)

• Penyebab mekanik lainnya, termasuk :
 Penampungan untuk pengobatan intratekal yang diletakkan pada abdomen kuadran kanan bawah
 Ascites
 Kompresi radiks L2-L3
Menurut Jiang dkk, dari 232 pasien yang terbukti dengan stenosis spinalis lumbal, 13 memiliki gejala meralgia paraesthetica. Laminektomi dekompresi secara signifikan mengurangi area hipo-aestesi pada paha, penyembuhan yang baik ditemukan 7 dari 11 kasus.11 Radikulopati multipel (patologi pada akar saraf), kelompok otot termasuk muskulus paraspinal yang diinervasi akar saraf L2-L3, kelemahan atau perubahan denervasi pada pemeriksaan EMG jarum.
• Gangguan metabolik dan reaksi imunologi
 Diabetes
 Plexitis
• Kondisi infeksi : termasuk herpes zoster.
 Faktor etiologi yang bersifat infeksi juga pernah disebut sehingga dianggap sebagai manifestasi neuritis sensorik mutlak.
• Idiopatik
Beberapa proses sistemik sering merusak nervus perifer termasuk nervus cutaneus femoris lateralis. Diabetes mellitus termasuk salah satu penyebabnya, dimana terjadi neuropati fokal atau difus.
















BAB III
DIAGNOSIS
Pasien dengan meralgia paresthetica dapat idiopatik atau disebabkan oleh luka mekanik di dekat ligamentum inguinalis biasanya menggambarkan parestesia atau disesthesia pada daerah yang mendapat inervasi nervus cutaneus femoris lateralis.
3.1. ANAMNESIS
• Nyeri pada sisi luar paha, kadang-kadang memanjang hingga ke sisi luar lutut, biasanya konstan.
• Sensasi seperti terbakar, kesemutan, atau mati rasa (kebas) di wilayah yang sama. Terkadang dirasakan seperti sengatan lebah. Dirasakan tanpa dipicu oleh suatu stimulasi fisik pada kulit.
• Kadang-kadang nyeri di daerah selangkangan atau nyeri menyebar ke pantat.
• Biasanya lebih sensitif terhadap sentuhan ringan daripada tekanan kuat.
• Kepekaan yang berlebihan terhadap panas ( air hangat dari pancuran terasa seperti tebakar)
• Perubahan postur atau duduk atau berdiri yang lama dapat menimbulkan gejala fluktuatif.
• Gejala yang tampak dapat berkaitan dengan berhubungan dengan beberapa factor resiko, seperti kecelakaan kendaraan bermotor, kehamilan, riwayat operasi di daerah pelvis, kegemukan dan lain-lain.

Gambar 7. Distribusi abnormalitas sensorik pada meralgia paraesthetica




3.2. PEMERIKSAAN FISIK
Penguji akan memeriksa setiap perbedaan sensasi antara kaki yang terkena dan kaki yang lain. Pemeriksaan abdomen dan panggul mungkin diperlukan untuk mengecualikan masalah di daerah tersebut.
• Pemeriksaan menunjukkan mati rasa pada paha anterolateral di semua atau bagian dari daerah yang terlibat dengan parestesi, kadang –kadang hiperestesi. Dengan “test pinprick” dapat ditemukan penurunan apresiasi, bersamaan dengan munculnya reaksi hiperpatia pada perabaan 11



Gambar 8. Metode pengukuran area yang mengalami hipoaestesi pada paha lateral dengan menggunakan tusukan jarum (pin-prick) dan sebuah film transparan.

• Ketukan di atas dan aspek lateral ligamentum inguinalis atau memperpanjang paha posterior (merentangkan saraf) dapat mereproduksi atau memperburuk parestesi.
• Palpasi dalam tepat di bawah SIAS (pengujian kompresi panggul) mereproduksi gejala.
• Kekuatan motorik tungkai yang terlibat harus normal, tidak ada atrofi otot ataupun perubahan refleks.12











3.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
3.3.1. Pemeriksaan Elektrofisiologis
Elektromiografi (EMG) studi konduksi saraf mungkin diperlukan.
Evaluasi dengan studi konduksi saraf dan pemeriksaan jarum diperlukan jika tidak ada faktor resiko diidentifikasi, jika lesi massa di ruang retroperitoneal dicurigai, atau ada nyeri punggung.
Prosedur Stimulasi13
Penyetelan
Stimulasi. Stimulasi permukaan antidromik diberikan di atas ligamentum inguinal (S1) 1 cm medial spina iliaca anterior superior (SIAS), dan atau di bawah ligamentum inguinal di atas origo musculus Sartorius. (S2)
Ground. Diletakkan antara stimulasi dan electrode perekam.
Perekaman. Elektrode permukaan diletakkan sepanjang garis yang menghubungkan SIAS dengan batas lateral patella. Elektrode aktif diletakkan 17 – 20 cm distal SIAS, dengan electrode reference 3 cm lebih distal.

Gambar 9. Stimulasi pada n.cutaneus femoris lateralis


Penilaian
Data Ma dan Liveson (Tabel 1). Subjek dibiarkan menyesuaikan diri dengan suhu ruangan yang berkisar 23 sampai 260C. Jenis kelamin tidak signifikan. Signifikansi usia tidak diuji.

TABLE 1. LATERAL FEMORAL CUTANEUS NERVE : MA / LIVESON DATA
( n = 40 s = 20 ( 25 - 44 y.o ) m = 33

Latency (ms) * Amplitudo (µV)†

Above ligament 2.8 ± 0.4 (2.3-3.2) [17 - 20 cm] 6.0 ±1.5 (3-10)

Below ligament 2.5 ± 0.2 (2.2-2.8) [14 - 18 cm] 7.0 ±1.8 (4-11)

* Latency to initial point of negative deflection
† Peak to peak amplitude
3.3.2. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
• X-Foto mungkin diperlukan untuk menyingkirkan kelainan tulang yang mungkin memberikan tekanan pada saraf.
• Pemeriksaan CT-Scan atau MRI untuk mengecualikan menyebabkan jaringan lunak seperti tumor.












BAB IV
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan akan bervariasi tergantung berat ringannya gejala yang ditunjukkan. Dalam kebanyakan kasus, pengobatan terbaik adalah menghilangkan penyebab kompresi dengan memodifikasi perilaku pasien, dikombinasi dengan perawatan medis untuk menghilangkan peradangan dan rasa nyeri.
4.1. FISIOTERAPI
Pada meralgia paraesthetica dapat dilakukan terapi konservatif, seperti fisioterapi, pengurangan berat badan untuk mengurangi lingkar perut, aplikasi termal, dan analgetik. Pasien harus menghindari pakaian ketat terutama di daerah pinggul depan atas, ikat pinggang yang lebar, atau penyangga yang memberikan tekanan fokal berlebihan pada ligamentum inguinale.
Terapi fisikal direkomendasikan sebagai tambahan untuk terapi dengan analgetik untuk mengontrol nyeri pada pasien dengan MP. Sebagai tambahan pemanasan lembab, modalitas lain yang direkomendasikan termasuk transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS). Modalitas ini digunakan untuk membantu meredakan nyeri dan memampukan pasien melakukan latihan peregangan dengan lebih santai. Tehnik jaringan lunak ( seperti : terapi “trigger point”) juga menguntungkan untuk mengurangi nyeri dan penekanan pangkal paha dan otot-otot paha. Sebagai tambahan fisioterapis menginstruksikan pasien untuk mengikuti program fitness yang membantu mengurangi berat badan maupun biomekanik dan reedukasi postural.
Pengurangan aktivitas fisik wajib dilakukan dalam hubungannya dengan tingkat rasa sakit. Istirahat mutlak diperlukan untuk tingkat rasa sakit akut. Pengurangan berat badan dan latihan memperkuat otot-otot perut.
4.2. INTERVENSI BEDAH
Pasien yang gagal dalam penatalaksanaan konservatif dirujuk ke ahli bedah untuk menjalani pembedahan dekompresi NCFL. Parameter untuk dilakukan pembedahan antara lain Tinel Sign positif, EMG abnormal dan pembebasan segera gejala-gejala yang mengiringi blok NCFL. Meskipun tindakan bedah transeksi NCFL ditujukan sebagai terapi, hasilnya masih kurang memuaskan, dan beberapa pasien melaporkan disestesi yang semakin berat. Tindakan bedah tidak selalu berhasil penuh dan dapat kambuh kembali rata-rata 15 -20%.9


Gambar 10. Durante operasi menunjukkan A. NCFL ditranseksi parsial B. neurolisis dan reseksi NCFL.
4.3. TERAPI MEDIKAMENTOSA1,2,3,13
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) akan mengurangi rasa nyeri. Biasanya diberikan 7-10 hari. Penambahan narkotik untuk membunuh rasa sakit mungkin diperlukan pada tingkat rasa sakit berat yang menyebabkan pasien terkadang sulit tidur. Hindari penggunaan OAINS dan narkotik jangka panjang jika memungkinkan. Selain itu dapat diberikan TCA atau antikonvulsan yang dimulai dari dosis rendah dan dititrasi naik sampai gejala mereda atau sebaliknya muncul efek samping. Obat ini sebaiknya dihentikan jika gejala tidak mereda dengan jumlah maksimal. Kesalahan yang sering terjadi adalah menghentikan pengobatan sebelum level serum mencapai rentang terapi.
Pada kasus yang parah dapat dilakukan blok saraf lokal pada ligamentum inguinal dengan suntikan kombinasi obat bius lokal (lidokain, bupivacain) dan kortikosteroid. Suntikan dilakukan 1 jari ke arah medial SIAS, di bawah ujung lateral ligamentum inguinale atau di tempat serabut-serabut nervus cutaneus femoris lateralis keluar dari fascia lata atau di kawasan disestesia / parestesia / hipestesia sendiri dapat menyembuhkan walaupun hanya meredakan gejala untuk sementara.

Gambar 11. Tempat Penyuntikan pada meralgia paraesthetica
4.4. TERAPI LAIN
Perbaikan gejala mungkin dapat terjadi dengan melakukan koreksi ketidaksesuaian panjang tungkai. Dapat dilakukan dengan menambah bantalan sepatu atau modifikasi lainnya untuk mengoreksi ketidaksesuaian sehingga hiperekstensi paha dapat diminimalkan pada sisi yang terpengaruh.
Pasien yang mengalami nyeri yang berkepanjangan dan membandel dengan terapi konservatif dan blok saraf multipel dengan steroid local, dapat diberikan pulsed radiofrequency. Sinyal radiofrekuensi telah banyak digunakan untuk menekan transmisi nyeri. Penggunaan konvensional prosedur ini melibatkan aplikasi kontinyu temperature tinggi, yang dihubungkan dengan degenerasi Wallerian, neurodestruksi berat dan efek deafferensiasi. 14















BAB V
PENUTUP
5.1. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada etiologi gangguan NCFL. Meralgia parestetica ringan yang disebabkan oleh mekanisme trauma external atau ringan terkadang dapat mengalami remisi secara spontan. Bila dilakukan intervensi bedah dengan dekompresi saraf pada kasus yang terseleksi dengan baik , dilaporkan memiliki hasil yang cukup baik, tetapi dapat kambuh kembali sekitar 15-20% kasus.15
Apapun penyebabnya, pemulihan biasanya memerlukan beberapa minggu ke bulan, tergantung pada keparahan kerusakan saraf. Pada kebanyakan pasien, meralgia paresthetica dapat sembuh sendiri, dan dengan edukasi, pasien belajar untuk mentoleransi gejala dan memodifikasi aktivitas, sekaligus untuk mencegah tindakan bedah dan tindakan agresif lainnya. Instruksikan pasien untuk menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan trauma pada NCFL.16
5.2. ASPEK MEDIKOLEGAL
Praktisi tidak boleh beranggapan bahwa seorang pasien mengalami MP dan segera mengelola dengan pleksopati yang disebabkan invasi tumor. Tidak semua pasien dengan gejala yang mirip MP memerlukan MRI atau CT Scan pelvis. Setiap situasi individu mengarah pada keputusan klinis. Bendera merah membantu untuk mengenali situasi ini apakah gejala memburuk secara progresif, tidak ada gangguan sensoris pada pemeriksaan neurologi, dan dalam keadan berat, nyeri yang dalam. Elektromyografi dapat membantu untuk membedakan MP yang ringan dengan problem lainnya.







DAFTAR PUSTAKA
1. Adam RD, Victor M : Disease of Spinal Cord, Peripheral Nerve, and Muscle, in Principles of Neurology, 8th ed. Mc Graw-Hill Book Co : New York 2005 : 1170
2. www. wikipedia.com Meralgia paraesthetica
3. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP Clinical Neurology Lange 6th Ed, Lange Medical Books / Mc Graw Hill Companies. 2005 : 223
4. Bosvell MV, Cole BE . Weiner’s Pain Management, A Practical Guide for Clinicians. 7th Ed. American Academy of Pain Management. CRC Press Taylor & Francis Group. 2006 : 469
5. www.emedicine.medscape.com. Kornbluth I, Marone JP. Meralgia Paraesthetica 2009
6. www.emedicine.medscape.com.Sekul E A, Meralgia Paresthetica Georgia 2009
7. www.emanualmedicine.com. Luzzio C. Meralgia Paresthetica. Madison 2009
8. Haerer AF , Disorders of The Peripheral Nerves in De Jong’s The Neurologic Examination 5th Ed. ,JB Lipincot Comp. ,1992 : 561
9. Ratliff JK, Jacques L, Tiel RL , Meralgia Paresthetica Following Iliac Crest Bone Graft for Anterior Cervical Disectomy : A Case Report and Review of the Literature Lousiana
10. Kaye AH, Essesial Neurosurgery 3rd ed. Blackwell Publishing 2005 : 241
11. Xiang J, Dong X, Hao W, Spinal Stenosis with Meralgia Paraesthetica dalam The Journal of Bone and Joint Surgery Vol.70-B , No.2, Urumchi, 1988 : 272 - 3
12. Sweis M . Meralgia Paraesthetica. Dynamic Chiropractic – Vol. 15, Issue 06
13. Ma DM, Wibourn AJ,Kraft GH : Unusual Sensory Conduction Studies. An AAEE Workshop. The Johnson Co.,Inc , Minnesota, 1984 : 6-7
14. Sidharta P, Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat Jakarta 2005 : 253-4
15. Philip CN, Candido KD, Joseph NJ, Crystal GJ. Successful Treatment of Meralgia Paresthetica with Pulsed Radiofrequency of Lateral Femoral Cutaneous Nerve. Pain Physician Journal 2009 ; 12 : 881-5
16. www.emedicine.medscape.com Hanna AS et al, Nerve Entrapment Syndromes. 2009
















LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Tn. MI
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bangetayu Wetan RT 6 RW 5 Semarang
Pekerjaan : Wiraswasta
No. CM : C297594
Tgl pemeriksaan : 13 Juni 2011

DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tanggal No. Masalah Pasif Tanggal
1 Parestesi Paha Kanan  2 13 Juni 2011
2 Meralgia Paretetica Dextra 28 Juni 2011

DATA SUBYEKTIF
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : paha samping kanan kesemutan, kadang-kadang tidak terasa
Onset : ± 10 hari yang lalu sebelum ke Poli Neurologi
Lokasi : Sisi luar paha kanan
Kualitas : kesemutan terus-menerus
Kuantitas : ADL mandiri
Kronologis : ± 10 hari sebelum datang ke poli Neurologi RSDK, saat panen jagung, penderita mengangkat jagung di bakul dengan berat lebih kurang 50 kg. Penderita kemudian merasa cekot-cekot pada paha kanan. Bila bersentuhan dengan celana terasa celekit-celekit, kemudian timbul kesemutan yang dirasakan terus-menerus. Terkadang terasa seperti kesetrum saat membungkuk. Kelemahan anggota gerak (-). Riwayat terjatuh atau terpeleset (-). Tidak berkurang dengan minum obat.
Faktor memperberat : beraktivitas terutama membungkuk
Faktor memperingan : istirahat tiduran
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Baru pertama kali sakit seperti ini.
- Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat trauma (-).
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga sakit seperti ini.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita bekerja sebagai wiraswasta. Menanggung 1 orang istri, 2 orang anak sudah mandiri. Biaya pengobatan ditanggung oleh pribadi. Kesan : ekonomi cukup
DATA OBJEKTIF
Status presens
Keadaan umum : composmentis, status gizi cukup
Kesadaran : GCS : E4M6V5 = 15
Tekanan darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 84 x/ mnt, reguler
Pernafasan : 20 x/ mnt
Suhu : 36,8 o C
Tinggi badan : 165 cm, BB : 54 kg BMI : 19.83 (normoweight)
VAS : 4 - 5
Kepala : mesosefal
Leher : kaku kuduk (-), pembesaran limfonodi (-)
Dada
Jantung : SJ I-II murni, bising (-)
Paru : Simetris statis dinamis, suara dasar vesikuler, ronki (-)
Perut : datar, supel, nyeri tekan (-). Hepar/lien tak teraba
Ekstremitas : edema (-), capilary refill < 2 detik

2. Status Psikikus
Cara berpikir : realistis
Perasaan hati : normothym
Tingkah laku : normoaktif
Ingatan : cukup
Kecerdasan : cukup

3. Status Neurologis
A. Kepala : Bentuk : mesosefal
Nyeri tekan : ( - )
Simetri : simetris
Pulsasi : ( - )
Mata : pupil bulat, isokor, Ø 3 mm / 3 mm, RC+/+
B. Leher : Sikap : tegak, lurus, pergerakan bebas
Kaku duduk : ( - )
C. Nervi Kraniales : dalam batas normal
D. Motorik superior inferior
• Pergerakan : + / + + / +
• Kekuatan : 5-5-5 /5-5-5 5-5-5 /5-5-5
• Tonus : N / N N / N
• Trofi : E / E E / E
• Refleks Fisiologis : + / + + / +
• Refleks Patologis : - / - - / -
• Klonus : - / -





E. Sensorik : hipestesi sesuai dermatom MS segmen L2-3 dextra
F. Koordinasi, Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : dalam batas normal
Tes Romberg : dalam batas normal
Tandem gait : dalam batas normal
Disdiadokokinesis : dalam batas normal
G. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor : ( - )
Athetose : ( - )
Mioklonik : ( - )
Khorea : ( - )
H. Alat vegetatif
Miksi : dbn
Defekasi : dbn
Pemeriksaan Tambahan :
Pin prick test : ditemukan area hipestesi sesuai dermatom MS segmen L2-3 dextra





RINGKASAN
Subyektif
Seorang laki-laki , 58 tahun datang dengan keluhan paha samping kanan kesemutan, kadang-kadang tidak terasa. ± 10 hari sebelum datang ke poli Neurologi RSDK, saat panen jagung, penderita mengangkat jagung di bakul dengan berat lebih kurang 50 kg. Penderita kemudian merasa cekot-cekot pada paha kanan. Bila bersentuhan dengan celana terasa celekit-celekit. Rasa kesemutan dirasakan terus-menerus. Terkadang terasa seperti kesetrum terutama saat membungkuk. Kelemahan anggota gerak (-). Riwayat terjatuh atau terpeleset (-). Tidak berkurang dengan minum obat. Diperberat dengan beraktivitas terutama membungkuk. Gejala mereda dengan istirahat tiduran. Baru pertama kali sakit seperti ini. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat trauma (-).Tidak ada anggota keluarga sakit seperti ini. Kesan ekonomi cukup.




Obyektif
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : composmentis, status gizi cukup
Kesadaran : GCS : E4M6V5 = 15
Tekanan darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 84 x/ mnt
Pernafasan : 20 x/ mnt
Suhu : 36,8 o C
Tinggi badan : 165 cm, BB : 54 kg , BMI : 19.83 (normoweight)
VAS : 4 – 5
Status internus : dalam batas normal
Status psikiatri : dalam batas normal
Status Neurologi
Mata : dalam batas normal
Nn craniales : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Motorik : dalam batas normal
Sensibilitas : hipestesi sesuai dermatom L2-3 dextra
Vegetatif : dalam batas normal
Pemeriksaan Tambahan :
Test pin prick : ditemukan area hipestesi sesuai dermatom MS segmen L2-3 dextra

DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinik : Hipestesi dermatom MS segmen L2-3 dextra
Diagnosis Topik : n. cutaneus femoris lateralis dextra pada regio SIAS dextra
Diagnosis Etiologik : Sindroma Jebakan n. cutaneus femoris lateralis dextra

VI. Rencana Awal
Program :
• Elektromyografi
Terapi

• Natrium diklofenak 2x50 mg
• Diazepam 2x2mg
• Ranitidine 2 x 150 mg
• Amitriptiline 1x25 mg (malam)
Monitoring :
- VAS, Tanda Vital, Defisit Neurologis
Edukasi :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya dan pengelolaan lebih lanjut.
VII. Prognosis.
Ad vitam : ad bonam
Ad sanam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam

CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 28 Juni 2011

S : kesemutan berkurang, kesemutan terkadang hilang timbul
O : Kesadaran : GCS = E4M6V5 = 15, VAS = 2-3
T = 120/70 mmHg, N = 80 x/menit, RR = 20 x/menit, t = 36,8 OC
Status Neurologi
Mata : dalam batas normal
Nn craniales : dalam batas normal
Leher : kaku kuduk (-)
Motorik superior inferior
• Pergerakan : + N/ +N +N / +N
• Kekuatan : 5-5-5 / 5-5-5 5-5-5 /5-5-5
• Tonus : N / N N / N
• Trofi : E / E E / E
• Refleks Fisiologis : + / + + / +
• Refleks Patologis : - / - - / -
• Klonus : - / -
Sensibilitas : hipestesi sesuai dermatom MS segmen L2-3 dextra
Vegetatif : dalam batas normal

Hasil EMG tanggal 27 Juni 2011
Notes
: Hantaran saraf
Motorik :
Distal latency, amplitudo, MCV : n tibialis D/S, n peroneus
D/S dbn
Sensorik :
Peak latency, SCV : n suralis D/S, n cut fem lat D/S dbn.
Amplitudo : n cut fem lat DF-response : n tibialis D/S, n suralis D/S dbn.

Conclusion : Gambaran elektroneurografi :
- hantaran saraf n tibialis kanan-kiri, n peroneus kanan-kiri,
dalam batas normal
- curiga suatu gejala awal neuropati n cutaneus femoralis lateral kanan















A : Meralgia Parestetica Dextra Perbaikan
P : Meralgia Parestetica Dextra Perbaikan
Dx. : --
Tx. :
• Natrium diklofenak 2x25 mg
• Diazepam 2x2mg
• Ranitidine 2x 150 mg
• Amitriptiline 1x12,5 mg (malam)
• Methycobalt 2 x 500 mcg
Mx : Tanda vital, VAS
Ex. : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya dan pengelolaan lebih lanjut.






BAGAN ALUR









































DECISION MAKING