Rabu, 21 Maret 2012

SINDROMA CAUDA EQUINA

BAB I
PENDAHULUAN

Cauda equina merupakan kumpulan akar saraf intradural pada ujung medulla spinalis. Cauda merupakan bahasa latin dari ekor, dan equina adalah bahasa latin untuk kuda, sehingga berarti ekor kuda. Medula spinalis adalah kelanjutan medulla oblongata kearah bawah yang dimulai tepat dibawah foramen magnum dan berakhir pada diskus intervertebralis antara vertebrae lumbalis pertama dan kedua sebagai struktur yang mengecil yang disebut conus medullaris, terdiri dari segmen medulla spinalis sakralis. Ini memberi inervasi sensorik ke “saddle area”, inervasi motorik ke sfingter dan inervasi parasimpatis ke kandung kencing dan usus bagian bawah, yaitu dari flexura lienalis kiri ke rektum.
Saraf pada region cauda equina meliputi lumbal bagian bawah dan semua akar saraf sakralis. Nervus splanchnic pelvicus membawa serat parasimpatis preganglionik dari S2-S4 untuk menginervasi musculus detrusor pada kandung kencing. Sebaliknya lower motor neuron somatic dari S2-S4 menginervasi otot volunter dari sfingter ani eksterna dan sfingter uretra ke rektum inferior, dan percabangan perineum dari nervus pudendus. Oleh karena itu akar saraf region cauda equina membawa sensasi dari ekstremitas bawah, somatom perineum, dan serta motorik yang keluar ke miotom ekstremitas bawah. Lanjutan dari conus yag tipis, seperti benang yaitu filum terminale merupakan elemen non neuron dalam region cauda equina yang meluas ke bawah menuju coccygeus. 1,2
Cauda Equina Syndrome (CES) , suatu kelainan neurologis yang jarang ditemukan, merupakan kombinasi gejala dan tanda akibat kompresi simultan akar saraf lumbosakral multiple di bawah level conus medullaris. Manifestasi klinis neuromuskular dan urogenital bervariasi dengan karakteristik gangguannya adalah nyeri punggung bawah, ischialgia bilateral atau unilateral, kelemahan bilateral atau unilateral ekstremitas bawah, hipestesi atau anestesi perianal atau tipe sadel, impotensi, bersamaan dengan disfungsi bowel dan bladder.
CES merupakan kasus yang jarang terjadi baik yang diakibatkan oleh trauma maupun nontrauma. Insidensi CES bervariasi, tergantung pada etiologinya. Prevalensi di antara populasi umum diperkirakan antara 1:100.000 dan 1:33.000. Penyebab paling umum adalah herniasi diskus lumbalis. Dilaporkan oleh lebih kurang 1% sampai 10% pasien herniasi diskus lumbal.
Sindroma cauda equina merupakan kondisi yang serius. Meskipun lesi secara teknik melibatkan akar saraf dan menunjukkan kerusakan saraf “perifer”, akibat yang ditimbulkan dapat irreversibel sehingga CES memerlukan tidakan bedah emergensi. Sindroma cauda equina dianggap sebagai darurat bedah karena jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen kontrol usus dan kandung kemih dan kelumpuhan kaki. 1,2,3,4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI
Tulang belakang terdiri dari 24 tulang yang dapat digerakkan, dinamakan vertebrae. Terdapat 7 ruas vertebrae segmen cervival, 12 segmen thoracal, 5 segmen lumbal, 4 segmen sacrum dan 4 segmen coccygeus yang bersatu. Segmen lumbal tulang belakang (terutama vertebrae Lumbal 5) menyangga berat badan terbesar. 1,3,5
Foramen vertebra adalah cincin tipis tulang vertebra yang terdiri dari bagian corpus, pediculus, dan lamina. Setiap segmen tulang belakang memiliki karakter yang berbeda. Foramen vertebra dari kumpulan tiap level vertebra akan membentuk canalis vertebralis, ruang dimana medulla spinalis berada.



Gambar 1. Potongan sagital canalis vertebral (spinal) menunjukkan medulla spinalis dan nervus spinalis keluar dari foramina intervertebralis.






Gambar 2. Epiconus, conus medullaris, dan cauda equina, dengan hubungan topografis dengan radiks menuju corpus vertebra dan diskus intervertebralis.



Gambar 3. Diagram dermatom lumbosacral




Gambar 4 . Vertebra lumbalis dan struktur di sekitarnya.


Gambar 5. Vaskularisasi medulla spinalis menunjukkan 1 arteri spinalis anterior yang memberikan vaskularisasi 2/3 bagian depan medulla spinalis, dan dua arteri spinalis posterior yang masing-masing memberikan vaskularisasi 1/6 medulla spinalis.7


Antara tulang vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis dan facet joint. Diskus intervertebralis berupa jaringan ikat mirip gel yang mengikat satu tulang vertebra pada tulang vertebra selanjutnya dan berfungsi sebagai bantalan atau peredam goncangan antar tulang vertebra. Fungsi ini melindungi vertebra, otak dan struktur lainnya. Adanya diskus intervertebralis juga memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi.6
Diantara corpus vertebra, terdapat sebuah massa fibrous yang berfungsi sebagai bantalan absorber yang disebut diskus. Diskus ini tetap berada di tempatnya karena disokong oleh ligamen-ligamen.
Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen yang berbeda: annulus fibrosus di bagian luar dan nucleus pulposus, massa gelatin di bagian dalam. Mereka tertambat pada vertebra di bagian atas dan bagian bawah oleh cartilage end plates. Pada diskus normal, air merupakan komponen penting dari nucleus. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, kandungan air dalam diskus berkurang dan menyebabkan degenerasi diskus.8 Medula spinalis pada orang dewasa berakhir pada level vertebra antara L1 dan L2 dengan sekumpulan berkas akar saraf lumbal dan sacral dalam kanalis spinalis yang membentuk cauda equina di bawah medulla spinalis. Akar-akar saraf itu kemudian terpisah dan keluar dari kanalis spinalis melalui foramina intervertebrale yang sesuai. Cauda equina terlindung dalam ruang subarakhnoid hingga setinggi vertebra sakralis II. Nyeri dan gejala lain dapat timbul bila diskus yang rusak menekan ke dalam kanalis spinalis atau radiks saraf.


PATOFISIOLOGI
Sindrom cauda equina disebabkan oleh penyempitan apapun pada canalis spinalis yang menekan akar saraf di bawah level medula spinalis. Lesi pada cauda equina bersifat LMN karena radiks yang terkena merupakan bagian dari susunan saraf perifer.
Cauda Equina Syndrome (CES) merujuk pada kondisi dimana terjadi kompresi secara bersamaan pada akar saraf lumbosakral dibawah level conus medularis, yang menyebabkan gejala neuromuskuler dan urogenital. Patofisiologi mekanisme terjadinya CES belum sepenuhnya dipahami. Akar saraf ini rentan terhadap cedera kompresi atau regangan karena memiliki epineurinum yang tidak berkembang dengan baik. Jika epineurinum terbentuk sempurna, seperti pada saraf-saraf perifer, akan dapat melindungi saraf dari tekanan atau tarikan/regangan. Selain itu sistem mikrovaskuler pada akar saraf cauda equina memiliki area yang relatif hipovaskuler yang terbentuk oleh kombinasi area anastomosis di sepertiga proksimal akar saraf. Hal tersebut menimbulkan rasionalisasi anatomik terhadap terjadinya manifestasi neuroiskemik bersamaan dengan perubahan degenerasi. 9,10,11

Gambar 6 . Berbagai variasi perubahan patologik pada cauda equina11

Beberapa penyebab sindrom cauda equina telah dilaporkan, meliputi cedera traumatik, herniasi diskus, stenosis spinalis, neoplasma spinal, schwannoma, ependimoma, kondisi peradangan, kondisi infeksi, dan penyebab iatrogenik. 3
Trauma
• Kejadian traumatik yang menyebabkan fraktur atau subluksasi dapat menyebabkan kompresi cauda equina.
• Trauma tembus dapat menyebabkan kerusakan atau kompresi cauda equina.
• Manipulasi spinal yang menyebabkan subluksasi akan mengakibatkan munculnya sindrom cauda equina.
• Kasus yang jarang berupa fraktur insufisiensi sacral telah dilaporkan menyebabkan sindrom cauda equina.
Herniasi diskus
• Kejadian sindroma cauda equina yang disebabkan oleh herniasi diskus lumbalis dilaporkan bervariasi dari 1-15%.
• Sembilan puluh persen herniasi diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5 atau L5-S1.
• Tujuh puluh persen kasus herniasi diskus yang menyebabkan sindrom cauda equina terjadi pada pasien dengan riwayat low back pain kronis, dan 30% berkembang menjadi sindrom cauda equina sebagai gejala pertama herniasi diskus lumbalis.
• Laki-laki usia dekade 4 dan 5 adalah yang paling rawan terhadap sindrom cauda equina akibat herniasi diskus.
• Sebagian besar kasus sindrom cauda equina yang disebabkan herniasi diskus melibatkan partikel besar dari materi diskus yang rusak, mengganggu setidaknya sepertiga diameter canalis spinalis.
• Pasien dengan stenosis kongenital yang menderita herniasi diskus yang menetap lebih mungkin untuk mengalami sindrom cauda equina yang disebabkan bahkan oleh herniasi diskus yang ringan dapat secara drastis membatasi ruang yang tersedia untuk akar saraf.
• Patofisiologi Hernia Nukleus Pulposus
Banyak faktor meningkatkan resiko terjadinya hernia diskus:
(1) gaya hidup seperti merokok, kurang aktivitas, dan nutrisi yang tidak adekuat berkontribusi terhadap kondisi diskus.
(2) seiring dengan bertambahnya usia, perubahan biokimia menyebabkan diskus secara perlahan-lahan menjadi kering sehingga mempengaruhi kekuatan diskus.
(3) postur yang buruk dikombinasi dengan kebiasaan buruk yang mengakibatkan penekanan mekanik pada tulang belakang mempengaruhi kemampuan tulang belakang untuk menyangga berat badan.12
Kombinasi dari faktor-faktor ini, ditambah dengan trauma, robekan sehari-hari dari diskus, cara mengangkat beban yang tidak benar mengakibatkan herniasi diskus. Herniasi dapat terjadi tiba-tiba atau perlahan-lahan dalam hitungan minggu atau bulan. Berikut adalah 4 tahap herniasi diskus: 11,14,15
1. Degenerasi diskus
Perubahan biokimiawi berkaitan dengan penuaan mengakibatkan diskus menjadi lemah, tetapi tanpa herniasi.
2. Prolaps
Bentuk atau posisi diskus berubah dengan sedikit penonjolan ke canalis spinalis. Disebut juga bulging atau protrusion.
3. Ekstrusi
Nucleus pulposus menembus annulus fibrosus namun tetap berada di dalam diskus
4. Sekuestrasi
Nucleus pulposus menembus annulus fibrosus, menembus keluar diskus sampai ke canalis spinalis



Gambar 7. Herniasi nucleus pulposus



Gambar 8. Manifestasi klinis hernia diskus lumbalis
Sumber Pustaka : Jones HR, Srinivasan G, Allam GJ. Netter’s Neurology. 2nd edition. Elsevier Saunders. Philadelpia. 2012

Stenosis spinalis
• Penyempitan canalis spinalis dapat disebabkan oleh abnormalitas dalam proses perkembangan atau degeneratif.
• Kasus spondilolistesis dan Paget’s diseaseyang berat dapat menyebabkan sindrom cauda equina.
• Stenosis spinalis menyebabkan “neurogenic intermittent claudication” atau iskemia intermittent cauda equine yang disebabkan oleh herniasi lumbal, hipertrofi tepi corpus ke dalam canalis spinalis, spondilolistesis atau tumor extradural.

Gambar 9 . Patologi stenosis spinalis 13


Neoplasma
• Sindrom cauda equina dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik primer atau metastasis, biasanya berasal dari prostat (pada laki-laki).
• Sindrom cauda equina dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik primer atau metastasis, biasanya berasal dari prostat (pada laki-laki).
• 60 % pasien dengan sindrom cauda equina yang disebabkan neoplasma spinal mengalami nyeri berat yang dini.
• Temuan terbaru meliputi kelemahan ekstremitas bawah yang disebabkan oleh keterlibatan ventral root.
• Pasien umumnya mengalami hipotoni dan hiporefleks.
• Hilangnya sensoris dan disfungsi sfingter juga umum ditemukan.
Schwannoma
• Schwannoma adalah neoplasma jinak dengan kapsul yang secara struktural identik dengan sinsisium sel Schwann.
• Pertumbuhan ini dapat berasal dari saraf perifer atau simpatis.
• Schwannoma dapat dilihat menggunakan mielografi, tetapi MRI adalah kriteria standar. Schwannoma bersifat isointense pada image T1, hyperintense pada image T2, dan enhanced dengan kontras gadolinium.
Ependimoma
• Ependimoma adalah glioma yang berasal dari sel ependim yang relatif undifferentiated.
• Mereka sering berasal dari canalis sentralis medula spinalis dan cenderung tersusun secara radial di sekitar pembuluh darah.
• Ependimoma paling umum ditemukan pada pasien yang berusia sekitar 35 tahun.
• Mereka dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan kadar protein pada cairan serebrospinalis.
• Temuan pada MRI dapat digunakan untuk membantu dokter dalam mendiagnosis sindrom cauda equina. Lesi tampak isointense pada T1-weighted image, hypointense pada T2-weighted image, dan enhanced dengan kontras gadolinium.
Inflamasi
• Kondisi peradangan pada medula spinalis yang berlangsung lama, misalnya Paget’s disease dan spondilitis ankilosa, dapat menyebabkan sindrom cauda equina karena stenosis ataupun fraktur spinal.
Infeksi
• Kondisi infeksi, misalnya abses epidural, dapat menyebabkan deformitas akar saraf dan medula spinalis.
• MRI dapat menampilkan penampakan abnormal akar saraf yang tertekan ke satu sisi sacus duralis.
• Gejala secara umum meliputi nyeri punggung yang berat dan kelemahan motorik yang berkembang sangat cepat.
Penyebab iatrogenik
• Komplikasi dari instrumentasi spinal telah dilaporkan menyebabkan kasus sindrom cauda equina, misalnya pedicle screw dan laminar hook yang salah tempat.
• Anestesi spinal yang kontinyu juga telah dihubungkan sebagai penyebab sindrom cauda equina.
• Injeksi steroid epidural, injeksi lem fibrin, dan penempatan free fat graft merupakan penyebab yang juga dilaporkan sebagai penyebab sindrom cauda equina meskipun jarang.

DIAGNOSIS 9,13
Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui :
1. CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem punggung bawah sebelumnya
2. Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang memiliki riwayat nyeri punggung dan ischialgia
3. progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita nyeri punggung kronik dan ischialgia.
Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda klinis CES berkembang dalam waktu kurang dari 24 jam.
Glave dan Macfarlane membagi pasien CES dalan dua stadium dalam hubungannya dengan fungsi urinari: stadium I, CES dengan retensi dan overflow incontinence; stadium II, CES inkomplit, dengan ciri penurunan sensasi urinari, hilangnya keinginan untuk berkemih (pengosongan), pancaran urin tidak baik, dan perlu mengejan agar bisa berkemih.15

Anamnesis 3,4,10,16,17
Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk, dengan nyeri punggung yang merupakan gejala yang paling menonjol. Bell et al menunjukkan bahwa didapatkan akurasi diagnostik antara retensi urin, frekuensi urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi berkemih dan penurunan sensasi perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya prolaps diskus. Anamnesis yang harus didapatkan dari pasien antara lain:
• Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa karakteristik yang mengesankan adanya hal yang berbeda dari strain lumbal pada umumnya. Pasien mungkin melaporkan adanya trigger yang memperparah, seperti menolehkan kepala.
• Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau kronik
• Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral dan/atau abnormalitas sensorik
• Disfungsi bowel dan bladder
o Gejala awal biasanya adalah retensi urin yang diikuti dengan munculnya overflow incontinence, dan kemudian bisa juga diikuti dengan keluhan inkontinensia alvi
o Biasanya dihubungkan dengan anesthesia/hipestesia tipe sadel
• Gangguan ereksi dan ejakulasi

Pemeriksaan Fisik 3,4,10,16,17
Nyeri sering berlokasi di punggung bawah. Mungkin didapatkan nyeri tekan setempat atau nyeri sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular. Nyeri lokal biasanya nyeri yang dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus vertebra. Nyeri radikular umumnya bersifat tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi radiks saraf dorsal. Nyeri radikular diproyeksikan dalam distribusi dermatomal.
Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya refleks fisiologis. Refleks yang meningkat merupakan tanda adanya keterlibatan medula spinalis sehingga diagnosis CES bisa disingkirkan. Nyeri menjalar ke kaki (ischialgia) unilateral atau bilateral merupakan karakteristik CES, diperburuk dengan manuver valsava. Abnormalitas sensorik mungkin muncul di area perineal atau ekstremitas bawah. Pemeriksaan raba ringan (light touch) pada area perineal seharusnya dilakukan. Area yang mengalami anestesi mungkin menunjukkan adanya kerusakan kulit.
Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan inervasi dari radiks saraf yang terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES kronik. Tonus sphincter ani yang menurun atau hilang merupakan karakteristik CES.
Adanya tanda babinski atau tanda-tanda upper motor neuron lainnya menunjukkan diagnosis selain CES, kemungkinan merupakan kompresi medula spinalis. Penurunan fungsi bladder dapat dinilai secara empiris dengan kateterisasi urin.
CES harus dipertimbangkan kemungkinannya pada semua pasien yang memiliki keluhan nyeri punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau bladder. Disfungsi bladder biasanya merupakan akibat dari kelemahan otot detrussor dan areflexic bladder; disfungsi ini awalnya menyebabkan retensi urin yang kemudian diikuti dengan overflow incontinence pada stadium selanjutnya. Pasien yang menderita nyeri punggung dan inkontinensia urin tetapi hasil pemeriksaan neurologisnya normal seharusnya diukur volume residual postvoid-nya. Volume residual postvoid yang lebih besar dari 100 mL menunjukkan adanya overflow incontinence dan memerlukan evaluasi lebih lanjut; sedangkan volume kurang dari 100 mL menyingkirkan diagnosis CES. Refleks anal, yang ditimbulkan dengan mengusap kulit lateral anus, normalnya menyebabkan kontraksi refleks sphincter ani eksterna. Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan untuk menilai tonus sphincter ani dan sensibilitas jika ditemukan tanda atau gejala CES.


Gambar 10. Inervasi regio pelvis oleh sacral inferior dan nervus pudendus



Gambar 11. Standard Neurological Classification of Spinal Cord Injury (From ASIA) 18


Pemeriksaan Penunjang3,9
Diagnosis CES umumnya bisa didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dan untuk menentukan lokasi patologik dan penyakit yang mendasari.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam penelusuran diagnosis CES adalah:
• X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi mungkin dapat dilakukan dalam kasus-kasus cedera akibat trauma atau penelusuran adanya perubahan destruktif pada vertebra, penyempitan diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis
• CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti dengan CT
• MRI. Berdasarkan kemampuannya untuk menggambarkan jaringan lunak, MRI umumnya merupakan tes yang disukai dokter dalam mendiagnosis CES. MRI direkomendasikan untuk seluruh pasien yang memiliki gejala urinari yang baru muncul yang berhubungan dengan nyeri punggung bawah dan ischialgia.
• Ultrasonografi mungkin bisa digunakan untuk estimasi volume residual post-void
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, kimia darah, gula darah puasa, sedimentation rate, dan sifilis dan lyme serology. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dilakukan jika didapatkan tanda meningitis.

PENATALAKSANAAN
Belum ada bukti yang menunjukkan terapi apa yang paling baik pada CES. Terapi umumnya ditujukan pada penyebab yang mendasari terjadinya CES.

Pembedahan2,4,5,10,12
Pada sebagian kasus, CES merupakan indikasi untuk dilakukan operasi dekompresi secepatnya; laminektomi yang diikuti dengan retraksi cauda equina secara hati-hati (untuk menghindari komplikasi meningkatnya gangguan neurologis) dan diskectomy pada penderita CES yang disebabkan oleh herniasi diskus merupakan tindakan pilihan. Waktu yang tepat dilakukan tindakan dekompresi belum sepenuhnya disepakati. Umumnya, pasien CES yang dilakukan operasi dalam 24 jam sejak timbul gejala awal dipercaya akan mencapai perbaikan neurologis yang lebih baik secara signifikan. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan tidak ditemukannya perbaikan outcome secara signifikan pada pasien yang dioperasi dalam waktu 24 jam dibandingkan dengan pasien-pasien yang dioperasi dalam waktu 24 sampai 48 jam. Penelitian lain menunjukkan bahwa pembedahan yang dilakukan secara elektif dibandingkan pembedahan emergensi tidak mengganggu perbaikan neurologis. Meskipun begitu, sebagian besar peneliti merekomendasikan tindakan operasi dekompresi secepat mungkin setelah munculnya gejala untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh perbaikan neurologis komplit.
Medikamentosa3,4
• Agen vasodilator
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa agen vasodilator memiliki efek terapetik yang signifikan terhadap CES. Dalam sebuah penelitian eksperimental menyebutkan bahwa pengobatan sistemik dengan OP-1206 α-CD, suatu analog prostaglandin E1, dapat secara signifikan meningkatkan aliran darah dan menurunkan hiperalgesia thermal yang diinduksi oleh cedera konstriksi saraf pada tikus.

• Agen anti-inflamasi
Agen anti-inflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif pada pasien dengan penyebab inflamasi dan sudah banyak digunakan dalam pengobatan nyeri punggung, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat-obat tersebut memberikan manfaat yang signifikan. Regimen steroid yang biasa dipakai adalah deksametason dengan dosis awal 10 mg secara intravena, diikuti 4 mg secara intravena diberikan setiap enam jam. Deksametason umumya diberikan intravena pada dosis 4 sampai 100 mg.
NSAID telah terbukti berguna untuk mencegah kalsifikasi jaringan lunak, osifikasi heterotopik dan perlengketan. Beberapa peneliti juga menegaskan resiko potensial penggunaan steroid. Pernah dilaporkan bahwa penggunaan agen antiinflamasi mungkin menghambat penyembuhan dan seringkali menimbulkan pembentukan abses.

REHABILITASI MEDIK PADA SINDROMA CAUDA EQUINA
Perawatan kulit

Pada saat terjadinya cedera medulla spinalis seringkali menyebabkan pasien memerlukan tirah baring dalam waktu lama. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus pada daerah-daerah tubuh tertentu yang mengalami penekanan terus menerus. Usaha terhadap pencegahan penanganan dekubitus harus dimulai segera setelah terjadinya cedera. Dasar perawatan adalah membebaskan tonjolan tulang dari tekanan setiap 2-3 jam sekali. 19,20

Perawatan kandung kemih dan rektum
Dalam program rehabilitasi, perawatan kandung kemih dan rektum sangat penting dan merupakan kunci keberhasilan hidup di masa mendatang.

Lower Motor Neuron Bladder Training

Pada tipe ini refleks bulbocavernosus dan anal superficial selalu negatif, penekanan / pemijatan kandung kemih dengan mengejangkan otot – otot abdomen dan diafragma yang tidak mengalami paralisis serta dibantu manual kompresi (maneuver Crede) dapat dilakukan untuk membantu pengosongan kandung kemih (pertama kali dilakukan 2 minggu setelah terjadinya cedera). Bila ini gagal, ulangi 2 kali seminggu sampai terjadi pengosongan kandung kemih ( biasanya terjadi setelah 2 – 8 minggu ). Dapat juga dilakukan usaha dengan kateter intermiten setiap 4-6 jam untuk melatih pengosongan kandung kemih secara efektif. Bila pengosongan kandung kemih sudah dapat terjadi, maka usaha selanjutnya dilakukan oleh penderita sendiri tiap 2 jam di siang hari dan perawat membantu melakukan penekanan secara manual di malam hari saat membalik posisi pasien. Sekali penderita telah menguasai tehnik pengosongan kandung kemih ini dengan memuaskan, maka frekuensi pengosongan dapat diatur sendiri, misalnya 3 – 4 jam sekali di siang hari, sebelum tidur, tengah malam (waktu membalikan posisi pasien), serta waktu bangun tidur di pagi hari., 20,21

Bowel Care

Dasar dari latihan rektum ini adalah supaya fungsi pengosongan rektum berjalan dengan efektif, efisien dan wajar. 19

Fisioterapi

Program fisioterapi harus sudah dimulai sejak pasien dirawat. Ada berbagai macam program fisioterapi yang dapat diberikan pada pasien dengan sindrom kauda equina dan tentunya tidak semuanya cocok diberikan untuk setiap pasien. Jelas pemberian latihan ini disesuaikan dengan keadaan klinis pasien dan juga gangguan neurologis yang ditemukan pada pasien tersebut. Adapun program-program tersebut antara lain:
1. Gerakan pasif.
Tiap persendian dari group otot ekstremitas inferior digerakan secara pasif dan full ROM, sekurang – kurangnya 2 kali sehari. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya kontraktur, karena gerakan pasif tersebut memelihara tonus dan panjang otot, serta melancarkan aliran darah dari ekstremitas inferior yang rentan terhadap kemungkinan timbulnya trombosis yang disebabkan aliran darah biasanya ditempat tersebut sangat lambat.
2. Keseimbangan duduk.
Pada pasien dengan kelemahan otot ekstremitas inferior yang cukup berat saat mula-mula di pindah ke kursi roda perlu waktu beberapa hari bagi pasien dapat duduk tegak dengan baik. Paralisis otot-otot tubuh seringkali mengganggu keseimbangan dan bagi pasien hal ini dirasakan sangan mengganggu. Jika duduk tegak maka pasien akan merasakan gejala-gejala seperti hipotensi antara lain pusing dan mual. Biasanya secara bertahap pasien dapat menyesuaikan diri. Jika hal ini terus berlanjut, maka dapat digunakan tilt table untuk membantu pasien membiasakan diri duduk tegak.

3. Berenang
Latihan berenang di kolam sangat bermanfaat dan menyenangkan karena akan membantu dan mempermudah otot-otot ekstremitas inferior untuk aktif berfungsi. Ban dan jaket penyelamat dapat digunakan untuk pengaman dan memperbesar rasa percaya diri pasien. Jika pasien ragu-ragu, maka terapis dapat membantu dengan menyangga tubuh pasien pada tempat yang sensoriknya masih berfungsi. Latihan renang ini dari sejak awalnya sudah dapat dikembangkan menjadi salah satu latihan yang dapat menyenangkan sekaligus sebagai suatu rekreasi.
4. Gym work
Tujuan latihan di ruang senam ini adalah untuk mengembangkan sepenuhya aktifitas otot-otot yang persyarafannya masih baik. Latihan dengan tahanan, per dan beban, press up, dan memanjat dengan tali.
5. Mat work (senam lantai di matras),
Pasien dalam posisi berbaring di lantai bertujuan untuk menguatkan otot–otot trunkus dan meningkatkan tonus otot – otot paravertebralis sehingga nantinya hal tersebut dapat membantu pasien dalam memperbaiki keseimbangan duduk dan postur. Latihan di matras ini bertujuan membantu mengurangi spastisitas otot – otot tersebut dan ini kelak akan membantu berfungsinya bladder dan bowel. Semua pasien diajarkan berguling di lantai dan jika mungkin belajar duduk tanpa dibantu. Selanjutnya latihan keseimbangan dapat terus di kembangkan dengan latihan duduk di tepi tempat tidur. Selain itu bisa pula dilakukan senam Kegel untuk menguatkan otot-otot panggul.
6. Berdiri
Pasien paraparese atau paraplegia secara teratur harus diajarkan cara untuk berdiri tegak. Disamping meningkatkan moril dan kepercayaan diri pasien, hal ini bertujuan untuk meringankan beban tekanan di sakrum dan pantat, memperbaiki tonus otot di trunkus dan ekstremitas inferior, mencegah deformitas fleksi di pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki, memperbaiki efisiensi pengosongan ginjal dan kandung kemih serta fungsi rektum dan juga berperan dalam pencegahan osteoporosis dan fraktur patologis. Untuk memungkinkan latihan berdiri tegak ini dapat digunakan alat yang dinamakan standing frame. Pengikat yang dilapisi kulit halus berfungsi sebagai brace, sedangkan meja miring didepan berfungsi sebagai tempat penderita melakukan berbagai aktifitasnya sambil berdiri.
7. Latihan jalan.
Faktor yang sangat menentukan kemampuan pasien dalam berjalan ialah: kekuatan otot quadriceps, propioseptif lutut, tidak adanya kontraktur fleksi dari panggul dan kontrol lengan. Untuk melangkah adalah merupakan problem yang besar bagi pasien. Kemauan merupakan kunci kearah keberhasilan, yang juga sangat tergantung faktor umur, berat badan dan jumlah otot-otot yang masih berfungsi. Teknik-teknik yang dapat dipergunakan dalam latihan jalan ini antara lain: swing to & swing through qait menggunakan kruk siku (elbow crutches).

8. Pemakaian kursi roda
Harus dipesan kursi roda yang sesuai untuk tiap pasien. Idealnya pasien dipesankan kursi roda sedini mungkin yang tipenya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan. Waktu yang paling tepat adalah saat pasien mulai belajar duduk.
Sebaiknya pemesanan kursi roda ini didiskusikan oleh tim. Pemilihan jenis kursi roda sangat tergantung kepada usia, ukuran tubuh, tinggi badan dan berat badan dan ditentukan oleh kekuatan lengan (1,2,3). Tempat kaki yang dapat dibuka dan berputar, ketinggian yang dapat diatur serta sandaran tangan yang dapat dilepaskan merupakan bentuk standart.
Latihan mengendalikan kursi roda diberikan sampai pasien betul – betul yakin akan kemampuannya. Antara lain latihan tersebut adalah bagaimana cara – cara melintasi pintu, permukaan lantai yang tidak rata, kemiringan dari “trotoar”. Kepada pasien juga diajarkan cara–cara mundur dengan baik.19,20,21


Sosial medik

Pekerja sosial medik merupakan salah satu anggota tim yang diperlukan dan tugasnya meliputi berbagai aspek yang sangat bervariasi. Kontak dengan pasien dan keluarganya segera dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit. Kontak dengan dinas sosial setempat harus segera dilakukan, ini kelak akan sangat membantu dalam memulangkan pasien kerumahnya. Begitu pula halnya untuk keperluan seperti kursi roda dan alat bantu lainnya diusahakan dengan bekerja sama dengan dinas tersebut. Kadang – kadang pekerja sosial medik diminta bantuannya untuk mengatasi kesulitan yang dialami pasien maupun keluarganya. Disamping itu pekerja sosial medik juga diperlukan untuk mengadakan kunjungan ke rumah pasien dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut: 22
• Tinggi tombol lampu
• Penutup lantai / karpet yang lepas
• Lebar pintu
• Permukaan lantai tidak boleh licin
• Anak tangga pada pintu yang menghambat mobilitas
• Kamar tidur harus ada di lantai bawah
• Letak kamar mandi
• Tipe bangunan rumah bila diperlukan “hoists” (katrol)
• Tinggi meja dapur
• Lebar lorong di dalam rumah




Ortotik

Pada trauma medula spinalis daerah torako lumbal dapat diberikan torako lumbal brace. Prinsip kerja ini alat ini adalah memberikan penekanan pada 3 buah titik yang dikenal dengan “three point pressure”. Penekanan tersebut diberikan dibagian antero distal yang terletak diatas pubis, dibagian antero proksimal pada sternum, sedangkan dibagian posterior tekanan diberikan pada daerah thorax bagian distal hingga lumbal bagian proksimal yang berupa “padding”, seperti tampak pada gambar yang menunjukkan salah satu tipe torako lumbal brace yaitu Jewett Brace. 22

Sedangkan pada trauma medula spinalis daerah torako lumbo sakral dapat diberikan torako lumbo sakral brace (TLSO). Prinsip kerja alat ini untuk menghambat gerakan tulang punggung kearak fleksi, ekstensi, laterofleksi. “Frame dan padding” yang menahan otot – otot abdominal mulai dari umbilikus sampai daerah supra pubis. Gambar menunjukkan salah satu bentuk torako lumbo sakral brace yaitu Goltwait brace.

Lesi pada T12 – L1 mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik mulai dari panggul ke bawah. Pada keadaan ini diperlukan pola jalan “swing throuh” yang memerlukan energi 6 kali lebih besar dibandingkan keadaan normal untuk setiap meternya. Pasien yang mampu berjalan dengan pola ini dan dalam kecepatan yang cukup baik 60 m/menit sangat jarang. 22
Okupasi Terapi
Okupasi terapi bertujuan untuk:
• Aktifitas kehidupan sehari – hari.
• Penilaian kursi roda
• Penilaian alat bantu jalan
• Penilaian pekerjaan dan penempatan kembali
• Penguatan otot – otot punggung dan ekstremitas atas
• Mempertahankan sisa fungsi yang masih ada
• Membangkitkan kembali semangat penderita
• Mencegah kontraktur otot

Psikologi
Secara umum dikatakan bahwa depresi dapat mengganggu proses rehabilitasi. Depresi dan ansietas dapat mengakibatkan disabilitas yang sama beratnya dengan yang disebabkan trauma medula spinalis. Kekuatiran akan masa depan dan akibat cacat yang diderita, sikap tidak realistis, sikap agresif merupakan tanda–tanda keresahan emosional. Dorongan dari terapis dan keluarga, pendekatan positif kepada pasien dan kemampuannya, sangat membantu dalam menghilangkan gejala. Mereka yang mengalami depresi ringan biasanya memberikan respon yang baik terhadap obat – obat anti depresi. Waktu penyesuaian psikologi biasanya memerlukan waktu sekitar 18-24 bulan.

PROGNOSIS3,4
Para peneliti telah menemukan kriteria-kriteria spesifik yang dapat membantu memprediksi prognosis pasien CES.
• Pasien dengan ischialgia bilateral dilaporkan memiliki prognosis yang kurang baik dibanding yang mengalami ishialgia unilateral.
• Pasien dengan gejala anestesi perineal komplit kemungkinan besar akan menderita paralisis bladder permanen
• Luasnya defisit sensorik tipe sadel atau perineal merupakan prediktor perbaikan/penyembuhan yang paling penting. Pasien dengan defisit unilateral memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan defisit bilateral.
• Wanita dan pasien dengan disfungsi bowel memiliki outcome yang lebih buruk.

Prognosis dapat juga diprediksi dengan skala American Spinal Injury Association (ASIA) berikut :
• ASIA A : 90 % pasien masih mampu dalam ambulasi fungsional
• ASIA B : 72 % pasien tidak dapat mencapai ambulasi fungsional
• ASIA C/D : 13 % pasien tidak mampumencapai ambulasi fungsional 1 tahun setelah cedera.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. 8th ed. Mc.Graw-Hill. New York. 2005; 168-171.
2. Mahadewa T, Maliawan S. Cedera Saraf Tulang Belakang Aspek Klinis dan Penatalaksanaannya. Udayana University Press. Denpasar 2009
3. Dawodu ST. Cauda Equina and Conus Medullaris Syndromes. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#showall
4. Cauda Equina Syndrome, http://www.emedicinehealth.com, Januari 11,2012
5. Snell RS. Neuroanatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. EGC Jakarta 2002
6. Mercer S, Bogduk N. The ligaments and annulus fibrosus of human adult cervikal intervertebral discs. Spine. Apr 1 1999;24(7):619-26; discussion 627-8.
7. Bartleson JD, Deen HG. Spine Disorders Medical and Surgical Management. Cambridge University Press, New York 2009
8. Skyme AD, SElmon GPF, Apthorp L. Common spinal disorders explained. London: Remedica. 2005: 39-43.
9. MA Bin et al. Cauda equina syndrome: a review of clinical progress.Chin Med J 2009;122(10):1214-1222
10. Jason C Eck. Cauda equina syndrome. Available from http://emedicine.medscape.com /article/1263571-overview . Updated: Feb 12, 2012
11. David H Durrant, Jerome M True. Myelopathy,radiculopathy, and peripheral entrapment syndromes. CRC press. 2002.
12. Available at http://www.mwspinecare.com/files/Lumbar_Herniated_Disc.pdf
13. Clarke A, Jones A, Malley MO, McLarren R. ABC of spinal disorders. Singapore: Blackwell. 2010: 22-3.
14. Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology Anatomy • Physiology • Signs • Symptoms . 4th edition , Thieme , Stuttgart • New York 2005 : 56 – 113
15. Gleave JR, Macfarlane R. Cauda equina syndrome: what is the relationship between timing of surgery and outcome? Br JNeurosurg 2002; 16: 325-328.
16. Tsementzis Sotirios. Differential diagnosis in neurology and neurosurgery. Thieme. 2000. 210-212
17. Esther Dan-Phuong. A case study of cauda equina syndrome. The Permanente Journal. fall 2003; 7(4):13-17
18. Evans RW. Neurology and Trauma. 2nd ed. Oxford University Press 2006 : 267
19. Cucurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. New York: Demos. 2004
20. Tan J. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis: Mosby. 1998
21. Somers MF. Spinal Cord Injury. Third Edition. Pearson. 2010
22. Braddom RL. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: Saunders. 2004

LATE ONSET POSTPARTUM ECLAMPSIA

I. EKLAMPSIA
1.1 PENDAHULUAN
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang tonik klonik umum maupun motorik lokal pada wanita dengan usia kehamilan setelah 20 minggu dengan preeklampsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba (TD diastolik >90 mmHg), dan proteinuria tanpa ada kelainan sebelumnya. Angka kejadian eklampsia di negara Inggris 0,49/1000 kehamilan dan pada negara berkembang berkisar 1/1000 – 8,1/1000 kehamilan. Kira-kira 15-25% wanita yang didiagnosis awal dengan hipertensi dalam kehamilan akan mengalami preeklampsia berat. Kejang pada eklampsia dapat terjadi pada usia kehamilan 20 – 40 minggu atau dalam 48 jam setelah kelahiran dan kadang-kadang lebih lama dari 48 jam setelah kelahiran.
Angka kematian ibu akibat eklampsia sebesar 63.000 jiwa/tahun di seluruh dunia, sedangkan angka kematian di negara berkembang mencapai 14%. Beberapa tanda dan gejala peringatan yang mendahului eklampsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, gangguan dan per ubahan visual dan mental, retensi cairan , fotofobia, iritabel, mual dan muntah. Komplikasi maternal dari eklampsia seperti HELLP syndrome, insufisiensi renal, koagulapati intravaskular diseminata (DIC), edema paru, termasuk juga kerusakan susunan saraf pusat yang diakibatkan kejang yang berulang atau perdarahan intraserebral.
Komplikasi neurologis dari eklampsia selain kejang juga ditemukan adanya penurunan kesadaran hingga koma yang diakibatkan perdarahan maupun edema cerebri. Adanya edema serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada eklampsia.
Perluasan edema serebri yang menimbulkan gejala sistem saraf pusat yang difus dapat terjadi pada 6% wanita dengan eklampsia dan 30% diantaranya akan berkembang menjadi herniasi transtentorial. Data penelitian menunjukkan bahwa edema serebri vasogenik maupun sitotoksik dapat terjadi pada preeklampsia berat atau eklampsia. Edema vasogenik merupakan yang paling dominan dan bersifat reversible sehingga jarang menimbulkan sequele neurologis yang permanen. Pemahaman patofisiologi edema serebri sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis dan terapi eklampsia mengingat defisit neurologis pada penderita eklampsia yang reversible dengan pengobatan yang tepat dan cepat.

1.2 PATOGENESIS
Patogenesis dari preeklampsia dan eklampsia kompleks melibatkan faktor genetik, imunologis dan interaksi lingkungan. Terdapat 2 tahap perjalanan penyakit ini yaitu :
1. Fase asimptomatik, yang ditandai oleh perkembangan abnormal dari plasenta selama trimester I yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan sejumlah besar material plasenta kedalam sirkulasi maternal.
2. Fase simptomatik, timbul gejala klinis akibat sekresi ke dalam sirkulasi maternal yang menimbulkan endotheliosis glomerular, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons inflamasi sistemik (SIRS) yang menyebabkan hipoperfusi dan kerusakan target organ. Gejala klinis yang timbul seperti hipertensi, gangguan fungsi ginjal, sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver function enzym and Low Platelets). Eklampsia dan kerusakan organ target yang lain biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu.
1.3. FAKTOR PREDISPOSISI
Primigravida, kehamilan ganda, hipertensi esensial kronis, diabetes melitus, mola hidatidosa, obesitas, bayi besar, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklampsia serta adanya riwayat keluarga yang pernah menderita preeklampsia atau eklampsia.
1.4 GEJALA KLINIS EKLAMPSIA
Manifestasi klinis dari eklampsia biasanya merupakan kelanjutan dari preeklampsia dimana ditemui adanya nyeri kepala di daerah frontal, bitemporal atau occipital, gangguan penglihatan seperti penglihatan kabur, diplopia dan skotoma hingga kebutaan serta gejala pencernaan seperti mual, muntah dan nyeri epigastrium. Gejala ini diikuti oleh semakin meningkatnya tekanan darah, derajat proteinuria, edema anasarka serta hiperrefleks. Bila keadaan ini tidak dikenali atau segera ditangani akan timbul kejang. Kejang pada eklampsia dapat terjadi pada antepartum (50%), intrapartum (25%) dan post partum (25%). Sedangkan bangkitan eklampsia dapat dibagai atas 4 Fase atau tingkatan :
1. Fase awal atau aura
Mata penderita terbuka, kelopak mata dan tangan bergetar, serta kepala berputar ke kanan dan kiri. Fase ini berlangsung selama 30 detik.
2. Fase kejang tonik
Berlangsung selama 30 detik, seluruh otot menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan dapat terhenti, muka menjadi sianotik serta lidah dapat tergigit.
3. Fase kejang klonik
Berlangsung selama 2 menit. Semua otot berkontraksi secara berulang dan cepat. Mulut membuka dan menutup dengan lidah tergigit lagi. Bola mata menonjol, mulut berbusa. Wajah menunjukkan kongesti dan sianosis. Kejang berhenti dan penderita menjadi tidak sadar.
4. Fase koma
Lama hilangnya kesadaran bervariasi, bisa beberapa menit hingga beberapa jam. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi tetapi data juga terjadi serangan kejang yang baru.

1.4 PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar pengelolaan eklampsia berdasarkan Konsensus Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia (2010) yaitu:
1. Terapi Suportif untuk stabilisasi penderita
2. ABC (Airway, Breathing, Circulation)
3. Mengatasi dan mencegah kejang
4. Koreksi hipoksemia dan asidemia
5. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya krisis hipertensi
6. Terminasi kehamilan

Penatalaksanaan Medikamentosa :
1. Magnesium sulfat (MgSO4)
Dosis awal : 4 – 6 gr MGSO4 20% IV (bolus 20 menit)
Bila kejang berulang dapat diberikan lagi 2 gr IV selama 20 menit
Dosis maintenance : 1 gr / jam IV dapat diberikan sampai 24 jam setelah kejang berhenti.
Syarat pemberian MgSO4 :
- Harus tersedia Kalsium glukonas 10% (antidotum), diberikan iv secara perlahan bila terjadi intoksikasi MgSO4
- Refleks patella (+)
- Frekuensi pernafasan > 16 kali/ menit
- Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
Bila penderita masih kejang dapat diberikan obat kejang lain seperti sodium amobarbital 250 mg IV selama 3-5 menit, Diazepam 5 – 10 mg IV pelan sesuai protokol penangangan status epileptikus.
2. Antihipertensi
Pemberian obat anti hipertensi dapat diberikan jika tekanan darah Sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik > 105 mmHg atau bial tekanan arteri rata-rata (MAP) = 125 mmHg. Terapi antihipertensi bertujuan untuk menurunkan risiko gangguan autoregulasi serebrovaskular akibat hipertensi, sehingga hiperperfusi yang dapat menimbulkan edema serebri dapat dicegah. Obat anti hipertensi yang direkomendasikan JNC 7th untuk hipertensi pada wanita hamil adalah metyldopa, dan α blocker.

Penatalaksanaan Obstetrik :
Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin

1.5 KOMPLIKASI EDEMA SEREBRI
Pada kurang lebih 5% kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat hingga koma yang menetap setelah kejang teratasi. Hal ini diakibatkan edema serebri yang luas. Penelitian Zeeman dkk (2004) menunjukkan 93% kejang postpartum berhubungan dengan edema serebri sebagai manifestasi encephalopathy hipertensi pada eklampsia. Tidak terdapat gejala patognomonis yang khas pada komplikasi edema serebri. Beberapa gejala yang timbul merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti adanya nyeri kepala disertai mual dan muntah, pandangan kabur dan kebingungan dapat dicurigai adanya edema serebri. Pemeriksaan diagnostik imajing seperti CT Scan atau MRI kepala perlu dilakukan untuk menentukan kondisi neuropatologik yang mendasari terjadinya kejang. Menurut Cunningham edema serebri pada kasus eklampsia hampir seluruhnya merupakan edema tipe vasogenik sedangkan sisanya adalah Edema tipe sitotoksik (18%).
Terdapat dua teori penyebab edema serebri pada eklampsia yaitu :
1. Teori Force Dilatation, menyatakan akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrem pada eklampsia menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya Edema vasogenik.
2. Teori Vasospasme, menyatakan overregulasi serebrovaskular akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal. Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membran sel sehingga terjadi kegagalan ATP dependent Na/K pump yang menyebabkan terjadinya edema sitotoksik.
Perluasan Edema serebri yang difus dapat mengakibatkan efek penekanan vaskuler sehingga dapat memperparah kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan perdarahan perikapiler sehingga akan memperburuk prognosis. Sekitar 30% dari perluasan Edema serebri dapat berlanjut menjadi herniasi transtentorial sehingga berakibat kematian.
Penatalaksanaan oedem serebri secara umum meliputi :
• Elevasi kepala 15 - 300
• Mencegah dehidrasi
• Menjaga normotermia
• Kontrol tekanan darah, tekanan darah yang sangat tinggi menimbulkan edema serebri

Penatalaksanaan khusus meliputi :
• Osmoterapi : pemberian Manitol, yang secara osmotik akan menarik cairan pada jaringan otak kembali ke vaskuler sehingga mengurangi edema serebri dan menurunkan tekanan intra kranial.
• Hiperventilasi : menyebabkan darah menjadi lebih alkali (alkalosis) yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga akan mengurangi edema serebri dan menurunkan tekanan intra kranial.
1.6 PROGNOSIS
Data statistik di Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan penurunan kejadian eklampsia dalam 40 tahun terakhir dengan presentase 10 – 15%. Sekitar 25% dari penderita yang mengalami eklampsia akan mengalami hipertensi pada kehamilan berikutnya, 2% penderita eklampsia juga akan mengalami eklampsia pada kehamilan berikutnya. Defisit neurologis yang diakibatkan Edema serebri pada eklampsia pada umumnya bersifat reversible. Beberapa Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa Edema serebri baik tipe vasogenik maupun tipe sitotoksik dapat mengalami pemulihan yang sempurna dengan pengobatan yang cepat.

II. DELIRIUM
2.1 PENDAHULUAN
Delirium adalah kejadian akut atau subakut neuropsikiatri berupa penurunan fungsi kognitif dengan gangguan irama sirkar¬dian dan bersifat reversibel. Penyakit ini disebabkan oleh disfungsi serebral dan bermanifestasi secara klinis berupa kelainan neuropsikiatri.
2.2 DEFINISI .
Definisi delirium menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders (DSM—IV—TR) adalah sindrom yang memiliki banyak penyebab dan berhubungan dengan derajat kesadaran serta gang¬guan kognitif.
Tanda yang khas adalah penurunan kesadaran dan gangguan kognitif. Adanya gangguan mood (suasana hati), persepsi dan peri¬laku merupakan gejala dari defisit kejiwaan. Tremor, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala defisit neu¬rologis.
Klasifikasi delirium berdasarkan DSM-IV:
1. Delirium karena kondisi medis umum.
2. Delirium karena intoksikasi zat.
3. Delirium karena sindrom putus zat.
4. Delirium karena etiologi yang multipel.
5. Delirium yang tak terklasifikasikan.

2.3 ETIOLOGI
1. Penyebab-penyebab delirium yang umumnya reversibel :
• Hipoksi.
• Hipoglikemi.
• Hipertermi.
• Delirium antikolinergik .
• Sindrom putus zat karena alkohol atau sedatif.
2. Penyebab lain :
• Infeksi
• Gangguan metabolik.
• Lesi struktural otak.
• Pascaoperasi.
• Lain-lain : kurang tidur, retensi urin, fecal impaction, perubah¬an lingkungan.
• Intoksikasi:
 Intoksikasi zat : alkohol, heroin, kanabis, PCP, dan LSD.
 Intoksikasi obat :
- Antikolinergik (antidepresan trisiklik).
- Narkotik (meperidin).
- Hipnotik sedatif (benzodiazepin).
- Histamin-2 (H-2) blocker (simetidin).
- Kortikosteroid.
- Antihipertensi sentral (metildopa dan reserpin).
- Antiparkinsonisme (levodopa).
 Sindrom putus zat : alkohol, opiat, dan benzodiazepin.
3. Demensia merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar. Faktor risiko demensia pada pasien delirium sebesar 25-50%. Adanya demensia meningkatkan risiko delirium sebanyak 2-3 kali.
4. Delirium yang berhubungan dengan operasi:
• Preoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan elektrolit, dan cairan).
• Intraoperatif (meperidin, benzodiazepine long-acting, dan anti¬kolinergik seperti atropin).
• Pascaoperatif (hipoksia dan hipotensi).

2.4 PATOFISIOLOGI
Delirium dapat timbul dari bermacam-macam kelainan fisiolo¬gis maupun struktural. Pada pasien dengan ensefalopati hepatikum dan gejala putus alkohol, terjadi kelainan metabolisme oksidatif serebral dan abnormalitas neurotransmiter multipel.
Delirium merupakan manifestasi disfungsi neurologis, terutama di daerah yang peka di korteks dan sistem retikular; jarang di serebelum. Dua mekanisme neuronal yang mencetuskan delirium, yaitu pelepasan neurotransmiter yang berlebihan dan pengaturan sinyal abnormal. Patofisiologi terbaru untuk menjelaskan keadaan delirium adalah ketidakseimbangan neurotransmiter berupa defisit kolinergik dan kelebihan dopamine.

2.5 DIAGNOSIS
Gejala - gejala utama:
1. Kesadaran berkabut.
2. Kesulitan mempertahankan atau mengalihkan perhatian.
3. Disorientasi.
4. Ilusi
5. Halusinasi.
6. Perubahan kesadaran yang berfluktuasi.
Gejala yang sering berfluktuasi dalam satu hari ; pada banyak kasus, pada siang hari terjadi perbaikan sedangkan pada malam hari tampak sangat terganggu. Siklus tidur-bangun sering terbalik.
Gejala-gejala neurologis :
1. Disfasia
2. Disartria.
3. Tremor.
4. Asteriksis pada ensefalopati hepatikum dan uremia.
5. Kelainan motorik.
Kriteria diagnostik delirium (DSM-IV):
• Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terha¬dap lingkungan), berkurangnya kemampuan dalam mem¬fokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
• Perubahan kognitif (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, dan gangguan persepsi) yang terjadi di luar ada¬nya, awal terjadinya atau berkembangnya demensia.
• Gangguan terjadi pada jangka waktu singkat (biasanya antara beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi dalam satu hari.
• Penemuan yang spesifik dari riwayat, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium dapat mengindikasikan penyebab gangguan apakah akibat fisiologik dari kondisi medis umum, intoksikasi zat, penggunaan obat-obat tertentu atau dapat juga timbul oleh lebih dari satu penyebab.
2.6 PENATALAKSANAAN
1. Intervensi Nonfarmakologis
Target utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan delirium, kebingungan, dan kesalahan persep¬si serta mengoptimalkan stimulasi lingkungan.
2. Intervensi Farmakologis
Antipsikotik Tipikal. Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia atau delirium hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/ 12 jam, sementara untuk usia muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan do¬sis 10 mg/2 jam IV. Jika dosis awal tidak efektif, maka dapat digandakan 30 menit kemudian selama tidak ditemukan efek samping. Pengaruh terhadap jantung memberikan gambaran interval QT memanjang pada EKG, sehingga pemberian halo¬peridol disertai dengan monitor EKG.
Antipsikotik Atipikal. Dosis risperidon untuk orang tua 0,25- 0,5 mg/12 jam, olanzapin 2,5-5 mg malam hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis bertahap sesuai indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT me¬manjang pada EKG. Olanzapin dan quetiapin altematif peng¬ganti haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glu¬kosa serum, selain itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan kontraindikasi pada delirium. Olan¬zapin dan risperidon tersedia dalam sediaan oral.
Benzodiazepin. Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi antipsikotik, dapat di¬gunakan diazepam 5-10 mg IV; dapat diulang sesuai kebu¬tuhan. Benzodiazepin dapat digunakan sebagai monoterapi ,pada gejala putus, alkohol, benzodiazepin, barbiturat, atau delirium pascakejang. Pasien delirium dengqn gejala putus alkohol diberi tiamin 100 mg/hari dan asam folat 1 mg/hari. Pemberian tiamin mendahului pemberian glukosa IV. Ben¬zodiazepin memberikan efek sedasi berlebih, depresi perna¬pasan, ataksia, dan amnesia.
Preparat Anestetik. Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap psikotropik tipikal. Efek sam¬pingnya berupa depresi pernapasan. Propofol bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 µg/kg/ menit. Efek samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradi¬kardi peningkatan enzim pankreas, dan asam laktat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Felz, MW, Barnes, DB. And Figueroa RE. Late Postpartum Eclampsia 16 Day After Delivery: Case Report with Clinical Radiologic and Pathophysiologic Correlations. J Am Board Fam Pracgt 2000: 13(1): 39-46.
2. Salha, O, Walker, J. Modern Management of Eclampsia. Postgrad Med J 1999; Vol.75:78-82
3. Cunningham FG, Twickler. Cerebral Edema Complicating Eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2000; Vol. 182:94-100
4. Belfort, MA, Saade, GR, Yared, M, Nisell, H.Change in Estimated Cerebral Perfusion Pressure after Treatment with Nimodipine or Magnesium Sulfate in Patients with Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 1999; Vol.181:402-07.
5. Zeeman, GG, Fleckenstein, JL, Twickler, DM, Cunningham,FG. Cerebral Infarction in Eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2004; Vol.190:714-20
6. Handerson, HV.Eclampsia in Neurological Intensive Care Unit 2003. Bringham and Women’s / Faulkner Hospital.
7. JNC 7th Express, The seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, National Health Blood Pressure Education Program, US. Department of Health and Human Services, 2003.
8. Ross, MG, Eclampsia.[Internet]. Updated Mei 2010. Available at http.// www.emedicine.medscape.com.
9. Aashit K Shah. Preeclampsia and eclampsia.[Internet].c2010. . Available at http.// www.emedicine.medscape.com.
10. Raslan, A, Medical Management of Cerebral Edema.[Internet].c2010. Available at http.// www.emedicine.medscape.com.
11. Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia, Eklampsia, Penatalaksanaan Obstetri, 2010:43-45
12. Sudibjo Prijo, Edema serebri sebagai komplikasi eklamsia, Laporan Kasus. Berkala Neurosains 2005; Vol.6:21-25.
13. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis & Tata laksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku ECG Jakarta. 2009 : 8 – 11

MENIERE DISEASE

PENYAKIT MENIERE
(HIDROPS LABIRIN IDIOPATIK)

PENDAHULUAN
Pada tahun 1861, Proper Meniere seorang dokter Perancis menggambarkan manifestasi klinik yang berkaitan dengan hidrops endolimfatik yang ditandai oleh berbagai kumpulan gejala berupa vertigo yang episodic, gangguan pendengaran, tinnitus dan rasa penuh atau tertekan di dalam telinga. Kemudian pada tahun 1938 Hallpike dan Cairns melaporkan tentang gambaran histopatologi berupa perubahan dilatasi sistem endolimf yang disertai dengan degenerasi elemen-elemen sensorik koklea dan alat vestibuler. Sejak saat itu, pemeriksaan mikroskopis pada os temporal yang terkena telah berhasil memberikan gambaran patologik yang tepat secara jelas, sementara etiologinya tetap kabur. 1,2,3
Timbulnya penyakit Meniere biasanya antara dekade keempat dan keenam; jarang terjadi di masa kecil atau setelah dekade ke delapan. Pria terkena lebih sering daripada perempuan (Sade dan Yani 1984; Stahle et al 1978.). Penyakit ini dimulai pada satu telinga dengan serangan yang sangat tidak teratur, yang pada awalnya umumnya dengan peningkatan frekuensi dan kemudian menurun dalam perjalanan beberapa tahun. Pasien pada awalnya bebas dari keluhan pada interval serangan-bebas, tapi kemudian terjadi peningkatan defisit seperti hypofunction vestibular perifer unilateral, tinnitus unilateral dan gangguan pendengaran (biasanya frekuensi rendah).Tingkat fluktuasi defisit ini tidak biasa bila dibandingkan dengan penyakit telinga yang lain. Sedangkan timbulnya penyakit ini sesisi, telinga yang lain juga bisa menjadi terpengaruh setelah beberapa waktu.
Semakin lama kita mengikuti seorang pasien dengan penyakit Meniere, semakin sering seseorang melihat penyakit bilateral (Morrison 1986). Pada tahap awal (durasi sampai 2 tahun), sekitar 15% dari kasus bilateral; 30-60% menjadi bilateral setelah satu atau dua dekade. Secara umum diakui bahwa perjalanan penyakit Meniere relatif jinak, memiliki tingkat kesembuhan (dari episode serangan tetapi tidak untuk gangguan pendengaran kronis) sekitar 80% dalam waktu 5-10 tahun (Friberg et al. 1984). Kesembuhan spontan dari serangan tersebut mungkin terjadi ketika ada fistula membran permanen memisahkan endolymph dan perilymph, yang memungkinkan drainase, terus-menerus tanpa gejala endolymph kelebihan.

ETIOLOGI
Penyebab pasti dari penyakit Meniere belum diketahui. Beberapa teori melaporkan beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit ini adalah :
1. Gangguan lokal keseimbangan garam dan air, yang menyebabkan edema endolimf.
2. Gangguan regulasi otonomi sistem endolimf.
3. Alergi lokal telinga dalam, yang menyebabkan edema dan gangguan kontrol otonom.
4. Gangguan vaskularisasi telinga dalam, terutama stria vaskularis.
5. Gangguan duktus atau sakus endolimfatik yang mengganggu absorbsi endolimf.
6. Perubahan hubungan dinamika tekanan perilimf dan endolimf yang mungkin berhubungan dengan perubahan anatomik di dalam pembuluh endolimf dan akua duktus koklea.
7. Manifestasi lokal labirin pada penyakit sistemik metabolik yang mengenai baik tiroid maupun metabolisme glukosa atau keduanya.
8. Berkaitan dengan beberapa kelainan os temporal termasuk berkurangnya pneumatisasi dari mastoid dan hipoplasi akuaduktus vestibuler. Kantong endolimf terlalu kecil dan berada dalam posisi abnormal di bawah labirin.
9. Terdapat bukti adanya penimbunan kompleks imun dalam endolimf pada pasien dengan penyakit Meniere memperkuat dugaan bahwa penyakit ini merupakan suatu gangguan imun.

GAMBARAN KLINIS
Penyakit Meniere biasanya ditemukan antara dekade keempat dan keenam; jarang terjadi di masa kecil atau setelah dekade ke delapan. Pria terkena lebih sering daripada perempuan. Sifatnya yang khas adalah terdapat adanya periode aktif yang bervariasi lamanya yang diselingi oleh periode remisi yang lebih panjang yang juga bervariasi lamanya.
Gejala dan tanda khas penyakit Meniere yaitu serangan pertama sangat berat berupa vertigo yang episodik, gangguan pendengaran yang berfluktuasi, tinnitus, serta rasa penuh dan tertekan di dalam telinga.1,4

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Pengetahuan mengenai proses patologi pada penyakit Meniere telah diperoleh melalui penelitian tulang temporal pada orang-orang yang menderita penyakit ini. Perubahan utama hidrops endolimfatik adalah dilatasi sakulus dan skala media di dalam koklea. Dilatasi koklea ini dibuktikan dengan adanya peregangan membrane Reissner di dalam labirin, membran ini dapat robek atau mengalami prolaps masuk ke dalam ruang labirin yang lain. Pecahnya atau robeknya membran ini menyebabkan bercampurnya endolimf dan perilimf mengakibatkan perubahan natrium dan kalium fisiologik. Biasanya tidak ditemukan perubahan struktural dan unsur sensorik atau neural telinga bagian dalam dengan hidrops. Ditemukan fibrosis serabut saraf koklea, degenerasi sel rambut dan atrofi stria vaskularis pada pasien-pasien dengan penyakit Meniere, tetapi perubahan ini mungkin juga akibat faktor umur. Atrofi stria vaskularis dapat juga ditemukan pada telinga yang normal.1

DIAGNOSIS
Penyakit Meniere didiagnosis berdasarkan (1,2,3,4,5,6,7,8):
1. Riwayat gejala klinis
Muncul pertama kali pada orang yang relatif berusia muda (biasanya sekitar 30 tahun)
a. Gangguan pendengaran berfluktuasi, terjadi pada saat serangan atau sekitar serangan vertigo. Biasanya dialami satu telinga, tidak sama pada kedua telinga.
b. Vertigo episodik, biasanya berlangsung 2 – 24 jam. Vertigo sering sangat cepat dan diperparah dengan gerakan kepala. Sering disertai muntah, berkeringat, jantung berdebar dan kecemasan.
c. Tinitus
d. Perasaan tertekan atau rasa penuh di dalam telinga
e. Deviasi gaya berjalan dan kecenderungan untuk jatuh.
Terdapat periode remisi di mana pasien merasa cukup normal, walaupun sesingkat beberapa hari atau lebih dari 10 tahun.
2. Pemeriksaan fisik terdapat tuli saraf
Pemeriksaan kalori pada alat vestibuler biasanya menunjukkan penurunan fungsi pada telinga yang bersangkutan baik terhadap rangsangan panas ataupun dingin.
3. Pemeriksaan audiogram, untuk mengidentifikasi pasien-pasien dengan gangguan pendengaran yang khas pada penyakit Meniere.
4. ENG, suatu tes keseimbangan untuk mengetahui gangguan pada sistem kesetimbangan
5. BERA (Brainsten Evoked Response Audiometry) untuk mengetahui kerusakan sistem keseimbangan telinga bagian dalam.
6. EcoG (Electro Cochleography)
7. Laboratorium
8. Radiologik : CT Scan, MRI

KRITERIA DIAGNOSIS
The American Academy of Ophthalmology and Otolaryngology, Head and Neck Surgery pada tahun 1995 merumuskan kriteria penyakit Meniere :
Certain Meniere’s disease
• konfirmasi histopatologi adanya hidrops endolymphatic
• gejala-gejala seperti dalam kriteria " definite Meniere’s disease"
Definite Meniere’s disease
• dua atau lebih serangan vertigo, masing-masing berlangsung lebih dari 20 menit
• audiometri menunjukkan gangguan / kehilangan pendengaran dalam setidaknya pada satu pemeriksaan
• tinnitus atau terasa penuh pada telinga yang terkena
• penyebab lainnya dikecualikan
Probable Meniere’s Disease
• setidaknya satu episode vertigo
• audiometri menunjukkan gangguan / kehilangan pendengaran dalam setidaknya pada satu pemeriksaan
• tinnitus atau terasa penuh pada telinga yang terkena
• penyebab lainnya dikecualikan
Possible Meniere's disease
• vertigo episodik tetapi tanpa kehilangan pendengaran
• gangguan pendengaran sensorineural, berfluktuasi atau tetap, dengan disekuilibrium, tetapi tanpa vertigo dengan episode yang pasti
• penyebab lainnya dikecualikan.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL DAN PROBLEM KLINIS
Serangan pertama penyakit Meniere harus dibedakan dari defisit vestibular akut unilateral, misalnya sehubungan dengan neuritis vestibular. Durasi serangan sangat membantu: penyakit Meniere biasanya berlangsung beberapa jam dan paling banyak satu hari, sedangkan pada neuritis vestibular mereka beberapa hari terakhir. Gejala yang menyertainya juga membantu untuk diagnosis, misalnya, "gejala telinga" pada penyakit Meniere dan tanda inflamasi mata dan gangguan pendengaran dalam sindrom Cogan atau gangguan pendengaran dan tanda-tanda mungkin infark dari AICA / arteri labirin. Gangguan sistem motor okular sentral atau fungsi vestibular sentral juga terjadi setelah infark lacunar.
Keadaan langka, berulang tiba-tiba jatuh, disebut vestibular drop attack (krisis otolithic Tumarkin's), yang terjadi pada tahap awal atau akhir penyakit Meniere tanpa pemicu pasti, tanda-tanda awal atau gangguan kesadaran, sulit untuk membedakan dari drop attack yang disebabkan oleh iskemia vertebrobasilar (Baloh et al 1990.). Serangan tersebut ternyata hasil dari fluktuasi tekanan endolymphatic disebabkan oleh eksaserbasi sepihak dari otoliths dan reaksi postural vestibulospinal yang tidak memadai.
Diagnosis diferensial penting lainnya adalah migren basilar / vestibular, yang dapat terwujud tidak hanya dalam bentuk serangan pendek, tetapi juga sebagai serangan yang berlangsung beberapa jam. Tanda-tanda bahwa serangan itu adalah migren vestibular adalah: (1) gangguan pusat motorik mata selama interval bebas serangan, (2) tidak adanya gangguan pendengaran yang progresif walaupun banyak serangan, (3) asosiasi dengan gejala neurologis lain seperti rasa tebal pada wajah (migrain basilar), (4) nyeri kepala dan leher, dan (5) memberikan respon terhadap pengobatan profilaksis dengan beta-blocker. Dalam literatur baru-baru ini ditemukan ada indikasi peningkatan hubungan antara penyakit Meniere dan migren vestibular (Radtke et al. 2002). Vestibular paroxysmia, yang disebabkan oleh kompresi neurovaskular, juga ditandai dengan serangan berulang vertigo dan / atau kadang-kadang gejala telinga yang lain. Serangan ini, bertentangan dengan penyakit Meniere, biasanya hanya berlangsung beberapa detik.2


PENGOBATAN 1,2,6
1. Terapi konservatif
a. Keseimbangan air dan elektrolit
b. Diet tinggi protein, rendah natrium dikombinasikan dengan pemberian ammonium klorida. Konsumsi garam dibatasi sampai 1500 mg per hari.
c. Kombinasi dengan diuresis (HCT 50 mg)
d. Pemberian kalium klorida untuk mencapai kadar natrium serum dan inhibitor anhidrase karbonik yang rendah.
2. Terapi farmakologik
a. Vasodilator : asam nikotinat 50 – 150 mg pada saat perut kosong
Histamin difosfat 2-4 tetes sublingual 2 kali sehari sebelum makan.
b. Antihistamin : dimenhidrinat
c. Antiemetik
d. Sedatif
e. Kortikosteroid : Prednison 80 mg selama 7 hari kemudian diturunkan bertahap
3. Terapi bedah
a. Dibuat shunt endolimfatik-subarakhnoid
b. Labirinektomi


REFERENSI
1. Runtuwene T, Penyakit Meniere. Dalam Joesoef AA, Kusumastuti K editor. Neuro-otologi Klinis Vertigo. Kelompok Studi Vertigo, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Pengurus Pusat PERDOSSI. Airlangga University Press. Surabaya 2002 : 17 : 142-5
2. Saeed SR. Fortnightly Review : Diagnosis and Treatment of Meniere’s Disease. BMJ 1998 ; 316 : 368-72
3. Hain TC, Meniere's Disease. Available at http://www.dizziness-and balance.com / disorders / menieres /menieres.html Page last modified : September 4, 2010
4. Brandt T, Dieterich M, Strupp M. Vertigo and Dizziness : common complaints. Springer-Verlag London Limited 2005 : 2 : 64-6
5. Pirodda A, Brandolini C, Raimondi MC, Ferri GG, Modugno GC, Borghi C. Meniere's disease: update of etiopathogenetic theories and proposal of a possible model of explanation. Acta Clin Belg. 2010 May-Jun;65(3):170-5
6. Chandra B. Tatalaksana Vertigo. Dalam Hadinoto S, Wirawan RB, Soetedjo editor. Vertigo diagnosis dan tatalaksana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1994 : 43-64
7. Hazell J. Information on Ménière's syndrome. Available at http://www.tinnitus.org /home /frame /meniere.htm
8. http://www.menieres-guidebook.com/2009