Minggu, 29 April 2012

KOMPLIKASI KARDIAL PADA PERDARAHAN SUBARAKNOID


BAB I
PENDAHULUAN
           
            Neurokardiologi memiliki banyak dimensi yang secara umum dibagi menjadi 3 kategori : efek jantung terhadap otak ( contoh : stroke emboli ), efek otak terhadap jantung ( contoh : penyakit jantung neurogenik  ), dan sindroma neurocardiac ( seperti Frederich disease ). Koneksi antara otak dan jantung sangat penting dalam mempertahankan fungsi normal kardiovaskuler. Hubungan ini menitikberatkan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom, dan gangguan yang terjadi merupakan efek samping sistem kardiovaskuler dan induksi stress-related cardiomyopathy (SRC). 1,2,3
            Stres emosi dan fisik dapat menginduksi eksitasi sistem limbik. Amigdala dan hipokampus, bersama insula merupakan area otak utama yang berperan pada emosi dan memori. Area ini juga memegang peranan penting dalam kontrol fungsi kardiovasculer. Eksitasi yang melibatkan struktur tersebut memprovokasi stimulasi pusat otonom medulla dan kemudian mengeksitasi neuron pre dan post sinaptik yang menyebabkan pelepasan norepinefrin dan metabolit neuronalnya. Keluarnya hormon adrenomedular secara simultan meningkatkan dan menginduksi lepasnya epinefrin. Epinefrin dilepaskan dari medulla adrenal dan norepineprin dari cardiac dan extracardiac yang mencapai adrenoreseptor jantung dan pembuluh darah. Okupasi adrenoreseptor cardial menginduksi toksisitas katekolamin pada cardiomyosit.1,2,3
            Perdarahan subarachnoid (PSA) adalah suatu kondisi yang mengkhawatirkan dengan  tingkat kematian tinggi, 12% pasien meninggal  sebelum mencapai rumah sakit. Selain morbiditas  akibat kelainan neurologisnya, PSA dikaitkan dengan komplikasi medis yang signifikan. Manifestasi  kelainan jantung  sering ditemukan  dan dapat berdampak terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien PSA. 1,2,3,4





BAB II
SISTEM SARAF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

Kerja Sistem Saraf terhadap Jantung dan Pembuluh Darah
Bagian sistem saraf yang berperan pada sistem kardiovaskular didominasi oleh sistem saraf otonom. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa sistem saraf otonom terbagi menjadi dua, yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Berikut ini adalah gambar yang menguraikan mengenai persarafan simpatis dan parasimpatis pada pembuluh darah.5,6,7

A
B
Gambar 1. A. Saraf otonom sistem sirkulasi B. Anatomi kontrol nervus simpatis sirkulasi. Garis merah putus -putus adalah nervus vagus yang membawa sinyal parasimpatis menuju jantung.

Gambar di atas menunjukkan anatomi dari sistem saraf otonom dalam mengontrol sirkulasi. Serat saraf simpatis meninggalkan spinal cord melalui seluruh saraf spinal thorakal dan melalui satu atau dua serat saraf lumbal yang kemudian memasuki rantai simpatis yang setiap sisinya terdapat pada kolumna vertebralis. Terdapat 2 rute untuk memasuki sirkulasi, pertama adalah melalui jalur saraf simpatis yang langsung menginervasi vaskularisasi pada organ-organ viseral dan jantung dan yang kedua adalah melalui bagian peripheral dari saraf spinal yang memvaskularisasi daerah-daerah perifer. Pada gambar berikutnya, ditunjukkan bahwa distribusi saraf simpatis pada pembuluh darah mencakup arteri, arteriola, vena  dan venula. Inervasi pada arteri kecil dan arteriola menyebabkan saraf simpatis mampu menstimulasi pembuluh darah arteri untuk meningkatkan resistensi pad aliran darah dan selanjutnya menurunkan aliran darah menuju ke jaringan. Inervasi pada pembuluh darah vena, memungkinkan stimulasi saraf simpatis untuk mengurangi  volume pada pembuluh darah ini. Hal ini akan menyebabkan darah terdorong ke dalam jantung dan selanjutnya berperan dalam proses pengaturan pompa jantung, yang akan dibahas selanjutnya. Saraf simpatis pada jantung berperan dalam meningkatkan aktivitas jantung, baik dalam hal meningkatkan detak jantung, meningkatkan kekuatan dan volume untuk memompa.
Meskipun sistem saraf parasimpatis berperan sangat penting dalam pengaturan banyak fungsi autonom dalam tubuh, sebagai contoh untuk mengontrol sistem gastrointestinal, parasimpatis juga memiliki peran pada regulasi sirkulasi, meskipun tidak sedominan sistem saraf simpatis.  Salah satu efek terpentingnya pada sirkulasi adalah mengontrol detak jantung melalui nervus vagus, yang berjalan dari batang otak langsung menuju ke jantung. Sistem parasimpatik akan menyebabkan penurunan pada detak jantung dan sedikit penurunan pada kontraktilitas otot jantung.

Gambar 2. Innervasi simpatis sirkulasi sistemik

Pusat yang berperan dalam pengaturan impuls simpatis dan parasimpatis pada pembuluh darah terletak di dalam otak yang dikenal sebagai pusat vasomotor (vasomotor center). Pusat vasomotor terletak pada substansi retikular pada medulla dan bagian terendah ketiga pada pons. Pusat ini mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke jantung dan mengirimkan impuls simpatis melaui spinal cord dan saraf simpatis perifer yang selanjutnya akan menuju ke pembuluh darah arteri, arteriola, dan vena.
Gambar 3. Area otak yang memegang peranan penting pada regulasi persarafan sirkulasi. Garis putus-putus merepresentasikan jalur inhibisi.

Dalam kondisi normal, area vasokonstriktor pada pusat vasomotor mengirimkan sinyal pada seluruh serat saraf simpatis ke seluruh tubuh, menyebabkan seluruh sinyal tersebar secara kontinu pada saraf simpatis dengan kecepatan 1,5-2 impuls per detik. Impuls inilah yang mengatur  status kontraksi pada pembuluh darah, yang dikenal sebagai tonus vasomotor (vasomotor tone).
Pada saat yang sama, dimana pusat vasomotor mengontrol konstriksi pembuluh darah, pusat vasomotor juga mengontrol aktivitas jantung. Bagian lateral dari pusat vasomotor mengirimkan impuls eksitatori melalui serat saraf simpatis ke jantung saat tubuh membutuhkan peningkatan detak jantung dan kontraktilitas. Sebaliknya, pada saat tubuh membutuhkan penurunan detak jantung, bagian medial dari pusat vasomotor mengirimkan sinyal ke nervus vagus yang kemudian akan mentransmisikan impuls parasimpatik ke jantung sehingga terjadi penurunan detak jantung dan kontraktilitas. Oleh karenanya, pusat vasomotor dapat meningkatkan dan menurunkan aktivitas jantung. Detak jantung dan kekuatan kontraksi meningkat saat vasokonstriksi terjadi dan penurunan terjadi saat vasokonstriksi dihambat.
Impuls yang dikirim saraf simpatis ke jantung akan menyebabkan peningkatan detak jantung (efek kronotropik), kecepatan transmisi pada jaringan konduktive jantung (efek dromotropik) dan kekuatan kontraksi (efek inotropik). Impuls yg dikirim melalui saraf simpatis juga dapat menghambat efek dari parasimpatis melalui nervus vagus. Kemungkinan melalui pelepasan neuropeptida Y, yang berperan sebagai kotransmiter pada ujung saraf simpatis.

Pengaturan Sistem Saraf Otonom Pada Jantung
Jantung merupakan organ muskular yang berongga, berukuran sebesar kepalan tinju dan berlokasi di rongga dada, pada garis tengah tubuh dengan sternum pada bagian depan dan vertebra thoracalis pada bagian belakang. Walaupun secara anatomi jantung manusia hanya ada satu, namun sisi kanan dan sisi kiri jantung berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah. Jantung terbagi menjadi dua bagian, kanan dan kiri dengan empat ruang di dalamnya. Dua ruangan di atas disebut dengan atrium dan dua ruangan di bawah disebut dengan ventrikel. Pembuluh darah yang membawa darah dari jaringan kembali ke jantung disebut dengan vena dan yang membawa darah dari jantung ke jaringan disebut dengan arteri.5,6,7
Jantung diinervasi oleh dua divisi dari sistem saraf otonom, yang dapat mengubah kecepatan (dan juga kekuatan) kontraksi, walaupun rangsangan saraf tidak dibutuhkan untuk memulai kontraksi. Saraf parasimpatis jantung, nervus vagus, mempersarafi atrium terutama SA node dan AV node. Persarafan parasimpatis untuk ventrikel hanya sedikit. Saraf simpatis jantung juga mempersarafi atrium termasuk SA node dan AV node dan juga secara dominan mempersarafi ventrikel.5,6,7 

Sistem Hantaran Jantung
Dengan sistem hantaran jantung, maka irama denyut jantung dapat dikendalikan agar tetap dalam batas-batas normal. Sistem hantaran jantung diawali pada simpul sinoatrial atau simpul sinus yang terdapat di bagian atrium kanan, di dekat muara vena cava superior. Simpul sinus normal merupakan “primary cardiac pacemaker” tetapi dalam kondisi tertentu maka pacu jantung (“cardiac pacemaker”) yang terdapat di dalam simpul atrioventrikular atau di sepanjang sistem hantaran jantung dapat tetap berdenyut.
Sistem hantaran jantung tersebut terdiri dari simpul sinus, preferential internodal pathways, simpul atrioventrikular, berkas His dan sistem Purkinje yang dapat dipelajari pada gambar berikut ini.


Gambar 4. Sistem Hantaran Listrik jantung


Susunan Saraf Otonom Dan Irama Jantung
Sistem hantaran khusus mendapat pelayanan saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Simpul sinoatrial dipersarafi oleh saraf parasimpatis melalui saraf vagus kanan, sedangkan saraf vagus kiri melayani simpul atrioventrikular. Kedua saraf parasimpatis tersebut tidak memelihara otot-otot ventrikel, kecuali hanya sedikit saja dan ini mungkin dapat diabaikan. Sedangkan saraf simpatis memelihara semuanya, baik atrium, ventrikel, simpul sinus dan simpul atrioventrikular. Kedua saraf otonom tersebut mengatur denyut jantung miogenik sehingga mempengaruhi “cardiac performance” seperti otomatisitas, konduktivitas, kontraktilitas, dan “rhythmicity” jantung. Simpul sinoatrial merupakan pusat tertinggi pacu jantung, dan dari sinilah munculnya “inherent rhythm” yang tidak pernah berhenti berdenyut, yang berjalan secara spontan dan impulsnya dihantarkan melalui SCS ke seluruh bagian jantung lainnya dan selanjutnya timbul irama jantung yang senada dengan irama simpul sinoatrial.
Rangsangan saraf parasimpatis pada simpul sinus, cenderung memperlambat kecepatan pembentukan impuls pada pusat pacu jantung, hal ini terjadi karena ujung-ujung saraf parasimpatis mengeluarkan asetilkolin, yang pengaruhnya dapat menurunkan jumlah produksi impuls di simpul sinus dan menurunkan kepekaan “atrio-ventricular junction” terhadap impuls atau rangsang yang datang dari simpul sinus, sehingga terjadi kelambatan hantaran impuls ke otot ventrikel. Berkurangnya produksi impuls pada simpul sinus disebabkan oleh adanya penekanan pada “slope diastolic depolarization” dan cenderung meningkatkan stabilitas potensial membran istirahat, sehingga menjauhi “firing-levelnya”.
Rangsangan yang sangat kuat oleh parasimpatis akan menghentikan perubahan ritmik aktivitas potensial aksi pada pacu jantung dan terjadilah “blok” hantaran impuls ke “atrio-ventricular junction”. Bila keadaan ini terjadi, maka ventrikel tidak akan berkontraksi. Tetapi dengan adanya pacu jantung pada SCS di dalam ventrikel dan otot-otot jantung itu sendiri, maka terjadilah rangsangan pada ventrikel yag menyebabkan ventrikel dapat berkontraksi di luar kontrol simpul sinus. Dan ini merupakan salah satu mekanisme kompensasi untuk mempertahankan denyut jantung. Denyut ventrikel demikian disebut sebagai : ekstrasistole ventrikel dan pada rekaman elektrokardiogram tampak gelombang QRS tanpa didahului oleh gelombang P. Rangsangan simpatis pada simpul sinus akan memberikan pengaruh yang berlawanan dengan rangsangan parasimpatis, hal ini karena simpatis meningkatkan “slope diastolic depolarization” potensial aksi pusat pacu jantung di dalam simpul sinus, sehingga “slope diastolic depolarization” sangat mudah mencapai potensial ambang dan kemudian disusul oleh “overshoot”, demikian seterusnya akan terjadi berulang-ulang, sehingga tampak peningkatan produksi impuls. Di lain pihak karena rangsangan simpatis, juga akan terjadi peningkatan permeabilitas membran semua jaringan Sistem Hantaran Khusus dan termasuk otot-otot jantung terhadap kalium dan natrium, sehingga hantaran impuls dipercepat dan kekuatan kontraksi otot jantung juga meningkat.6     

Kontrol Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular berada di bawah pengaruh saraf yang berasal dari beberapa bagian otak, yang pada gilirannya menerima umpan balik dari reseptor sensorik dalam pembuluh darah. Peningkatan output saraf dari batang otak ke saraf simpatis menyebabkan penurunan diameter pembuluh darah (penyempitan arteriol) dan meningkatkan stroke volume dan denyut jantung yang berperan dalam meningkatkan tekanan darah. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan peningkatan aktivitas baroreceptor, yang memberi sinyal batang otak untuk mengurangi output saraf ke saraf simpatis.5,6,7,8



Baroreseptor

Tekanan Darah

Batang Otak

Denyut Jantung

Stroke Volume
Diameter Pembuluh Darah
 








Gambar 5.  Aktivitas baroreseptor

Konstriksi vena dan penurunan pasokan darah dalam reservoir vena pada umumnya bersamaan dengan peningkatan konstriksi arteriol, walaupun perubahan-perubahan dalam besarnya muatan pembuluh darah tidak selalu paralel dengan perubahan-perubahan resistensi pembuluh darah. Peningkatan aktivitas saraf simpatis terhadap jantung dan pembuluh darah, secara umum berhubungan dengan penurunan aktivitas serabut-serabut vagal jantung. Sebaliknya, penurunan aktivitas simpatis menyebabkan vasodilatasi. Penurunan tekanan darah dan meningkatnya simpanan darah dalam reservoir vena. Umumnya akan diikuti dengan penurunan denyut jantung, akan tetapi hal ini biasanya berhubungan dengan rangsangan nervus vagus dari jantung.

Efek Rangsangan Parasimpatis Terhadap Jantung
Sistem saraf parasimpatis berpengaruh terhadap simpul SA untuk menurunkan denyut jantung. Acethylcholine dilepaskan pada peningkatan aktivitas parasimpatis yang meningkatkan permeabilitas simpul SA terhadap K+ dengan memperlambat penutupan saluran K+. Hasilnya, tingkat di mana potensial aksi spontan dimulai berkurang melalui efek dua kali lipat :
1.      Peningkatan permeabilitas K+ menjadikan membran simpul SA hiperpolar karena lebih banyak ion kalium positif yang keluar dibandingkan keadaan normal, membuat keadaan di dalam menjadi lebih negatif. Karena potensial istirahat dimulai bahkan jauh dari ambang batas, diperlukan waktu lebih lama untuk mencapai ambang batas.
2.      Peningkatan permeabilitas K+ diinduksi oleh rangsang vagus dan menentang reduksi otomatis dalam permeabilitas K+ yang bertanggung jawab untuk memulai depolarisasi membran secara bertahap ke ambang batas. Efek yang berlawanan ini menurunkan tingkat depolarisasi spontan, memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk melintas ambang batas. Oleh karena itu, simpul SA mencapai ambang batas dan rangsangan terus berkurang, menurunkan denyut jantung.

Pengaruh parasimpatis simpul AV menurunkan eksitabilitas simpul, memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel bahkan lebih panjang dibandingkan perlambatan simpul AV yang biasa. Efek ini disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas K+, yang membuat membran menjadi hiperpolar, sehingga menghambat permulaan eksitasi simpul AV.

Tabel 1.  Efek Sistem Saraf Otonom Terhadap Jantung dan Struktur yang Mempengaruhi Jantung
Area yang dipengaruhi
Efek dari rangsangan parasimpatis
Efek dari rangsangan simpatis
Simpul SA
Menurunkan tingkat depolarisasi ambang batas, memperlambat denyut jantung
Meningkatkan tingkat depolarisasi ambang batas, mempercepat denyut jantung
Simpul AV
Menurunan eksitabilitas, meningkatkan perlambatan simpul AV
Meningkatkan eksitabilitas, menurunkan perlambatan simpul AV
Jalur konduksi ventrikular
Tidak ada efek
Meningkatkan eksitabilitas, mempercepat konduksi melalui berkas His dan sel-sel Purkinje
Otot Atrium
Menurunkan kontraktilitas, memperlemah kontraksi
Meningkatkan kontraktilitas, memperkuat kontraksi
Otot Ventrikel
Tidak ada efek
Meningkatkan kontraktilitas, memperkuat kontraksi
Medulla adrenalis (Kel. Endokrin)
Tidak ada efek
Merangsang pengeluaran epinephrin, hormon yang meningkatkan aksi sistem saraf simpatis terhadap jantung
Vena
Tidak ada efek
Meningkatkan aliran balik vena, sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi jantung melalui mekanisme Frank-Starling

Stimulasi parasimpatis pada sel-sel kontraktil atrium mempersingkat potensial aksi, efek ini diyakini disebabkan oleh lambatnya arus masuk yang dibawa oleh Ca2+ yang menyebabkan fase plateu berkurang sebagai hasilnya kontraksi atrium diperlemah.
Sistem parasympatis mempunyai sedikit efek pada kontraksi vetrikel, karena sedikitnya inervasi pada ventrikel.
Jadi jantung lebih "santai" di bawah pengaruh parasimpatis – denyut jantung berkurang dengan cepat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium diperlemah. Tindakan ini tepat mengingat bahwa sistem parasimpatis mengontrol kerja jantung dengan tenang, situasi rileks saat tubuh tidak menuntut peningkatan output jantung. 

Efek Rangsangan Simpatis Pada Jantung. 
Sebaliknya, sistem saraf simpatik, yang mengontrol kerja jantung dalam situasi darurat atau saat olahraga, ketika ada kebutuhan untuk aliran darah yang lebih besar, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pacu jantung. Efek utama dari rangsangan simpatis pada simpul SA adalah untuk meningkatkan laju depolarisasi, sehingga ambang dapat dicapai lebih cepat. Norepinefrin dilepaskan dari ujung saraf simpatis menurunkan permeabilitas K+ dengan mengakselerasi inaktivasi saluran K+. Dengan lebih sedikit ion potasium positif yang keluar, bagian dalam sel menjadi kurang negatif, menciptakan efek depolarisasi. Hal ini melayang lebih cepat dengan ambang di bawah pengaruh simpatis memungkinkan frekuensi potensial aksi yang lebih besar dan denyut jantung yang lebih cepat. 
Stimulasi simpatis dari simpul AV mengurangi keterlambatan simpul AV dengan meningkatkan kecepatan konduksi, mungkin dengan meningkatkan aliran masuk Ca2+ yang lambat. Demikian pula, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi sepanjang jalur konduksi khusus. 
Dalam sel kontraktil atrium dan ventrikel, yang keduanya memiliki banyak ujung saraf simpatis, stimulasi simpatis meningkatkan kekuatan kontraktil sehingga denyut jantung lebih kuat dan memeras keluar lebih banyak darah. Efek ini disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas Ca2+ yang mempercepat perlambatan Ca2+ yang masuk dan mengintensifkan partisipasi Ca2+ dalam proses sambungan eksitasi-kontraksi. 
Efek keseluruhan dari rangsangan simpatis pada jantung, karena itu, adalah untuk meningkatkan efektivitas jantung sebagai pompa dengan meningkatkan denyut jantung, mengurangi perlambatan antara kontraksi atrium dan ventrikel, mengurangi waktu konduksi melintasi jantung, dan meningkatkan kekuatan kontraksi.

Pengendalian denyut jantung 
Jadi, seperti yang khas dari sistem saraf otonom, efek parasimpatis dan simpatis pada denyut jantung antagonistik (berlawanan satu sama lain). Pada saat tertentu denyut jantung sebagian besar ditentukan oleh keseimbangan yang ada antara efek penghambatan saraf vagus dan efek stimulasi dari saraf simpatis jantung. Dalam kondisi istirahat, pengaruh parasimpatis adalah dominan. Bahkan, jika semua saraf otonom ke jantung diblokir, denyut jantung istirahat akan meningkat dari nilai rata-rata 70 denyut per menit untuk sekitar 100 denyut per menit,  yang merupakan tingkat rata-rata keluaran spontan nodus SA ketika tidak mengalami  pengaruh saraf. 
Perubahan dalam denyut jantung melampaui tingkat istirahat ini di kedua arah dapat dicapai dengan menggeser keseimbangan stimulasi saraf otonom. Denyut jantung meningkat secara bersamaan meningkatkan aktivitas simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis, penurunan denyut jantung disebabkan oleh kenaikan bersamaan aktivitas parasimpatis dan penurunan aktivitas simpatik. Tingkat relatif aktivitas dua cabang otonom ke jantung pada gilirannya terutama dikoordinasikan oleh pusat kendali jantung yang terletak di batang otak.  Meskipun persarafan otonom adalah yang utama yang mengatur denyut jantung, faktor lain juga mempunyai peran yang sama. Yang paling penting dari ini adalah epinephrine, hormon yang disekresikan ke dalam darah dari medulla adrenal pada rangsangan simpatis dan bertindak pada tingkat jantung dengan cara yang sama dengan norepinephrin untuk meningkatkan denyut jantung. Epinephrin oleh karena itu memperkuat efek langsung yang dimiliki sistem saraf simpatis terhadap jantung.






BAB III
PERDARAHAN SUBARACHNOID

DEFINISI
            Perdarahan subarachnoid (PSA) didefinisikan sebagai ekstravasasi darah akut ke ruang subarachnoid. Angka kejadian sebanyak 30.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, sebagian besar SAH disebabkan  oleh cedera traumatik. Estimasi prevalensi cedera otak traumatik (TBI) di seluruh dunia adalah antara 150 dan 250 tiap 100.000 penduduk tiap tahun. Dari 12% sampai 53% (angka yang realistis mungkin 40%) dari pasien cedera otak traumatik mengalami perdarahan subaraknoid pada computerized tomography (CT)-scan awal. Berdasarkan data tersebut, sekitar 240.000 orang di Amerika Serikat menderita SAH traumatik tiap tahun.4,9

ETIOLOGI
Berbeda dengan SAH traumatik, SAH spontan muncul lebih jarang, dan penyebabnya lebih beragam :4
  • Rupturnya aneurisma intra cranial (75-80%)
  • “Angiogram negative SAH” (7-10%)
  • Cerebral arteriovenous malformations (AVMs; 4–5%)
  • Vaskulitis
  • Diseksi arteri karotis atau vertebralis
  • Rupturnya arteri infundibulum (jarang)
  • Penyakit koagulasi (jarang menyebabkan SAH, lebih sering menyebabkan perdarahan intra parenkim atau perdarahan subdural [SDH])
  • Thrombosis vena serebral
  • AVM spinal
  • Penggunaan kokain
  • Sickle cell disease
  • Pituitary apoplexy
  • Tumor
Penyebab paling umum PSA nontraumatik dari adalah pecahnya aneurisma sakular intrakranial. Aneurismal PSA dikaitkan dengan mortalitas 30-hari sebanyak 45%, dengan sekitar 12% pasien meninggal sebelum memperoleh bantuan medis. Morbiditas yang tinggi dan mortalitas yang terkait dengan PSA tidak terbatas pada manifestasi neurologis saja tetapi meliputi komplikasi medis lainnya yang biasa ditemui pada pasien dengan PSA. Gangguan fisiologis terkait dengan PSA merupakan prediktor independen mortalitas dan keluaran yang jelek. Meskipun kejadian sebenarnya dari manifestasi jantung pada PSA belum ditentukan, namun hal ini dapat terlihat pada setidaknya 50% pasien.

ANATOMI RUANG SUBARACHNOIDEA
            Ruang subarachnoidea terletak antara arachnoid mater dan pia mater dan karena itu ditemukan pada  tempat meningen menutupi otak dan medulla spinalis. Ruang ini diisi oleh cairan serebrospinal dan mengandung pembuluh darah otak yang besar . Dilintasi oleh suatu anyaman trabeculae halus yang dibentuk oleh jaringan ikat lunak. Ruang subarachnoidea mengelilingi otak secara lengkap dan melanjutkan diri di sepanjang n.olfactorius ke mukoperiosteum hidung. Ruang subarachnoidea juga melanjutkan diri di sepanjang pembuluh darah serebral pada saat memasuki dan meninggalkan substansia otak serta berhenti pada tempat dimana pembuluh-pembuluh darah ini menjadi suatu arteriole atau venula.
            Pada situasi-situasi tertentu di sekeliling dasar otak, arachnoidea tidak mengikuti permukaan otak secara erat sehingga ruang subarachnoidea melanjutkan diri membentuk cisterna subarachnoidea.
            Ke inferior, ruang subarachnoidea melanjutkan diri diluar ujung bawah medulla spinalis dan menyokong cauda equine. Di bawah ruang subarachnoid berakhir setinggi antara vertebra sacral kedua dan ketiga.
            Ruang subarachnoidea mengelilingi saraf kranial dan spinal dan mengikutinya sampai suatu titik dimana mereka meninggalkan cranium dan kanalis vertebralis. Disini arachnoid mater dan pia berfusi dengan setiap saraf.

Gambar 6. Hubungan dari leptomeninges, subarachnoid, pleksus koroid ,ventrikel, astroglia, dan neuron  SSP. Ruang  sub arachnoid terletak antara arachnoid mater dan pia. Pleksus koroid terdiri dari lapisan  ependymal  dan inti  yang memiliki jaringan ikat  bervaskularisasi. Pembuluh darah subarachnoid dan ruang subarachnoid  berlanjut dengan inti dari pleksus koroid .  Diambil dari kepustakaan 10.

GEJALA KLINIS
            Gejala yang ditimbulkan oleh suatu aneurisma baru dapat dirasakan apabila terjadi pergerakan atau ekspansi dari suatu aneurisma maupun pecahnya suatu aneurisma. Pecahnya aneurisma yang menimbulkan perdarahan subarachnoid akan ditandai dengan timbulnya sakit kepala berat yang terjadi secara tiba-tiba dan belum pernah dialami sebelumnya, nyeri bahu atas, kekakuan leher, mual, muntah, takut pada cahaya (photophobia) dan kelelahan sampai tak sadarkan diri. Keadaan ini umumnya terjadi saat penderita melakukan aktifitas tertentu seperti olah raga melompat dan sebagainya, buang air besar (mengejan), hubungan seksual, yang semuanya berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, tetapi perdarahan ini dapat juga terjadi pada kondisi lain seperti sedang tidur dan aktifitas lainnya.4,9
            Empat puluh lima persen penderita perdarahan subarachnoid mengalami penurunan kesadaran yang disebabkan karena terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial akan menimbulkan dampak terhadap peningkatan tekanan darah sistemik dan abducens nerve palsy dengan manifestasi bola mata akan tertarik ke medial dan dengan funduskopi akan ditemukan perdarahan subhialoid dan edema papil.
            Gejala lain yang dapat ditimbulkan antara lain yaitu seizure ditemukan pada 26 % penderita perdarahan subarachnoid. Gejala lain yang dapat ditimbulkan berupa gejala dampak dari komplikasi seperti kelainan fokal lainnya akibat iskemia serebral.
            Serangan seizure yang terjadi tidaklah berhubungan dengan letak pecahnya aneurisma dan juga bukan merupakan nilai prognosa tetapi semata mata karena terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak.
Hunt dan Hess membuat klasifikasi berat ringannya suatu perdarahan subarachnoid dengan derajat keparahan 1 sampai 5 sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Hunt dan Hess4

Pemeriksaan penunjang diagnostik
            Inti diagnosis PSA adalah CT scan kranial nonkontras. Kemungkinan mendeteksi adanya perdarahan adalah proporsional dengan derajat klinik dan tenggang waktu sejak perdarahan. Dalam 12 jam pertama setelah PSA, sensitivitas CT untuk PSA adalah 98% sampai 100%, turun ke 93% pada 24 jam dan ke 57% sampai 85% pada 6 hari setelah PSA. Karena sensitivitas disgnostik CT scan tidak 100%, maka pungsi lumbal diagnostik sebaiknya dilakukan jika CT scan pertama negatif.
             Teknik yang tepat, penanganan sediaan secara layak, dan interpretasi yang benar terhadap cairan serebrospinal adalah sangat penting untuk diagnosis yang akurat. Faktor penting dalam memeriksa cairan serebrospinal meliputi memahami saat pungsi lumbal dalam kaitan dengan PSA, hitung sel darah merah dan putih, adanya xanthochromia, dan pendeteksian bilirubin. Pedoman untuk pemeriksaan dan interpretasi cairan serebrospinal yang diperoleh dari pungsi lumbal untuk mengevaluasi suspek PSA telah dipublikasikan. CT scan dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal mengesampingkan adanya kebocoran peringatan pada kebanyakan kasus dan meramalkan prognosis yang lebih menguntungkan dalam situasi nyeri kepala hebat dan/atau mendadak. Telah direkomendasikan bahwa pasien dengan CT scan dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal agar diberi kepastian, terapi nyeri kepala simptomatik, dan konsultasi referral yang selayaknya sebagaimana diindikasikan.

Gambar 7. A. Gambaran CT Scan Kepala Non Kontras pasien SAH   B. Cairan Serebrospinal pada Pasien SAH  menunjukkan gambaran xantochrom.


            Penggunaan MRI dalam diagnosis PSA telah muncul. Teknik MRI menggunakan bayangan yang ditimbang densitas proton atau teknik memperoleh bayangan terbalik yang diperkuat cairan, telah memperbaiki diagnosis PSA akut. Tetapi keterbatasan MRI dalam praktek di instalasi gawat darurat adalah ketersediaan rutin, logistik (termasuk kesulitan scan pasien yang penyakitnya akut), sensitivitas terhadap artefak gerakan, kepatuhan pasien, lebih lamanya pemeriksaan, dan biaya. Secara umum, faktor-faktor ini membatasi penggunaan MRI pada PSA akut. MRI dapat digunakan untuk memperoleh lebih banyak informasi tentang otak dan untuk mencari penyebab PSA lainnya. MRI dan MRA adalah alternatif untuk mengevaluasi penderita PSA dan angiografi kateter negatif dan pada pasien dengan CT scan negatif dan dengan hasil pungsi lumbal meragukan.

Gambar 8. Gambaran MRA 3 dimensi time-of-flight (TOF) 7 × 7 mm aneurisma arteri komunikans anterior. Tidak dijumpai anatomi tulang disekelilingnya pada gambaran MRA.

            MRA pada PSA telah muncul selama dekade yang lalu tetapi masih belum dapat menggantikan angiografi yang berbasis-kateter sebagai test awal untuk identifikasi dan lokalisasi aneurisma. Keterbatasan dalam praktek yang dibicarakan sebelumnya berlaku untuk MRA, begitu juga factor teknik lainnya. Faktor-faktor misalnya ukuran aneurisma, dan tipe gambar post-proses yang digunakan untuk interpretasi MRA dapat mempengaruhi hasil MRA. Sensitifitas MRA tiga dimensi saat-bekerja untuk aneurisma serebral adalah antara 55% sampai 93%. Variasi yang terlihat dalam penelitian ini terutama disebabkan oleh perbedaan dalam ukuran aneurisma. Pada aneurisma >/= 5 mm, sensitivitas adalah 85% sampai 100%. Sedangkan sensitifitas MRA untuk mendeteksi aneurisma <5mm turun ke 56%. MRA juga mempunyai keterbatasan dalam karakterisasi leher aneurisma dan hubungannya dengan pembuluh induk. MRA tidak membutuhkan kontras yang diberi iodine dan radiasi pengion. Ini mungkin membantu dalam mengevaluasi pasien selama kehamilan. MRA mungkin juga merupakan modalitas yang dapat diterima untuk skrining awal pada pasien yang tanpa PSA, sebagaimana dijelaskan diatas. 
             CTA adalah alternative yang cepat, mudah tersedia dan tidak invasif untuk angiografi kateter dan telah memperlihatkan sensitivitas yang mendekati kesetaraan dengan angiografi kateter untuk aneurisma yang lebih besar. Teknik tersebut menggunakan injeksi bahan kontras beriodin intravena cepat dan menghasilkan gambar selama fase arterial di daerah yang dituju. Gambar dari CTA sebaiknya membentang mulai dari persis dibawah foramen magnum sampai bagian atas lingkaran Willis dan bifurkasi arteri serebral tengah. Keberhasilan CTA secara parsial tergantung kepada pembentukan gambar di daerah yang dituju selama dosis kontras maksimal. Teknik pemrosesan pasca-imaging dapat memberikan informasi 3-dimensi yang berguna untuk mengembangkan strategi terapi. Interpretasi CTA tidak boleh berdasarkan pada gambar yang direkonstruksi saja. Gambar yang menjadi sumber harus menjadi basis utama interpretasi, dan gambar 3-dimensi yang direkons-truksi harus digunakan untuk mengklarifikasi pertanyaan spesifik. Untuk aneurisma, CTA dilaporkan mempunyai sensitivitas antara 77% sampai 100% dan spesifisitas antara 79% sampai 100%. Sensitivitas dan spesifisitas CTA untuk mendeteksi aneurisma tergantung kepada lokasi dan ukuran aneurisma, pengalaman ahli radiologi, gambar yang diperoleh, dan presentasi gambar tersebut. Untuk aneurisma >= 5 mm, CTA mempunyai sensitivitas antara 95% sampai 100% dibandingkan dengan antara 64% sampai 83% apabila aneurisma < 5 mm. Kekusutan pembuluh akan mengurangi spesifisitas CTA, mengha-silkan misinterpretasi sebagai aneurisma intrakranial. Ini paling sering terjadi di daerah bifurkasi arteri serebral tengah, anteri anterior penghubung, dan arteri serebellar posterior inferior. Pengalaman ahli radiologi adalah faktor penting dalam akurasi CTA dalam praktek dalam mendeteksi aneurisma serebral. Sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi aneurisma serebral meningkat oleh ahli radiologi yang lebih berpengalaman. Diantara aneurisma yang terdeteksi pada CTA dan kemudian menjalani pembedahan, korelasi 100% terlihat antara CTA dan angiografi kateter. Velthuis dkk mendapati bahwa CTA adalah setara dengan angiografi kateter pada 80 sampai 83% dari kasus. Pada 74% pasien, angiografi kateter yang dilakukan setelah CTA tidak mengungkapkan informasi tambahan. Dari data ini, banyak dokter bedah saraf bekerja atas dasar CTA saja dalam kasus dimana risiko penundaan pembedahan untuk pemeriksaan dengan kateter tidak dapat dibenarkan. Dokter bedah saraf dalam jumlah lebih kecil telah menggunakan data ini untuk membenarkan bedah rutin atas dasar CTA saja.

Gambar 9. Gambaran Angiogram Serebral menunjukkan adanya aneurysma

Gambar 10. Gambar CTA 3 dimensi dari 8 × 6 mm aneurisma arteri komunikans anterior (perhatikan bahwa arteri karotis interna telah dikurangi pada gambar untuk meningkatkan gambaran aneurisma). Detail tulang di sekitarnya digambarkan dengan baik.

            CTA juga dapat digunakan untuk menambah informasi yang diperoleh oleh angiografi kateter. CTA lebih mampu menentukan adanya kalsifikai dinding aneurisma, trombosis intralumen aneurisma, orientasi aneurisma dari segi perdarahan intraparen-kim, dan hubungan antara aneurisma dengan posisi tulang. CTA telah diperlihatkan effektif dalam menentukan adanya vasospasme berat tetapi kurang akurat dalam mendeteksi vasospasme ringan sampai sedang. CTA mempunyai keunggulan yang berkaitan dengan memperoleh gambar dengan cepat dan ini tersedia luas, sehinga sesuai untuk pasien yang kondisinya kritis. Kelemahan CTA meliputi kebutuhan untuk pemberian pewarna kontras ber-iodin, kemungkinan artefak tulang mengganggu kualitas gambar, dan ketidak-mampuan memeriksa pembuluh distal kecil. Gangguan artefak dari metal membatasi penggunaan CTA pada pasien dimana sebelumnya telah terpasang klip atau coil. Penggunaan CTA terus berkembang, dan dimasa datang, CTA akan semakin melengkapi atau secara selektif menggantikan angiografi konvensional dalam tatalaksana PSA akut. 
             Angiografi kateter serebral selektif sekarang ini adalah standar untuk mendiagnosis aneurisma serebral sebagai penyebab PSA. Sekitar 20 sampai 25% angiogram serebral yang dilakukan untuk PSA tidak akan menunjukkan sumber perdarahan. Angiografi ulangan setelah 1 minggu akan memperlihatkan aneurisma yang sebelumnya tidak ditemukan pada 1 sampai 2% dari kasus. Apakah hasil kecil tambahan itu cukup berharga dibandingkan biaya dan morbiditas angiogram kedua, masih menjadi sumber kontroversi.

PENGOBATAN 4,9,11,12
            Pengobatan perdarahan subarachnoid meliputi pengobatan pencegahan terhadap komplikasi yang umumnya bersifat fatal. Penatalaksanaan umum terhadap pencegahan terjadinya perdarahan berulang antara lain menempatkan penderita pada ruangan khusus yang tenang dan dengan penerangan yang sederhana. Kepala sepenuhnya harus ditinggikan 30 % untuk memperbaiki intrakranial venous return. berikan obat-obatan yang melunakkan feces (stool softener) , berikan antimuntah dari golongan phenotiazine dan berikan obat analgetik seperti codein atau meperidine. Apabila diperlukan berikan obat-obatan yang mempunyai efek sedasi seperti diazepam atau dosis rendah dari phenobarbital ( 30 - 60 mg) 3-4 kali /hari yang juga dapat berfungsi sebagai antikonvulsan.
            Pemberian kortikosteroid masih kontroversial tetapi dexamethasone seringkali diberikan terutama pada penderita dengan keadaan poorer grade yang disertai brain edema dan tekanan intrakranial meningkat. Pemberian antasida atau. H2-antagonist diperlukan terutama pada pemberian obat-obat golongan steroid dan akibat stress ulcers dari perdarahan subarachnoidnya sendiri.


PENCEGAHAN SEIZURE
Epilepsi sekunder umumnya terjadi sebagai komplikasi perdarahan subarachnoid . Insiden pada penderita post operasi antara 4,5 - 27,5 %. Keadaan ini akan bertambah pada penderita yang sebelum operasi mengalami seizure, aneurisma pada daerah teritorial MCA, vasospasme. Adanya bangkitan kejang sendiri akan menstimulasi terjadinya perdarahan ulangan, hal ini akan memperburuk prognosis penderita perdarahan subarachnoid. Walaupun pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis masih kontroversial tetapi dengan pemberian antikonvulsan ini diharapkan akan memberikan outcome yang lebih baik. Antikonvulsan fenitoin dapat diberikan walaupun pada penderita yang mengalami gangguan kesadaran dan juga tersedianya dalam bentuk sediaan injeksi untuk intravenous.

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Adanya peningkatan tekanan intrakranial harus secepatnya diantisipasi dengan memperhatikan posisi kepala menjadi 30 % untuk memperbaiki venous return dan dilakukan restriksi pemberian cairan. Tekanan intrakranial dapat diturunkan dengan beberapa cara antara lain dengan hyperventilasi untuk mempertahankan PCO2 pada kisaran 25 - 30 mmHg. Ataupun dengan pemberian obat hiperosmolar seperti manitol 20 % dengan dosis 0,25 – 1 mg/kgBB/pemberian yang dapat diulang setiap 6 jam. Dalam tiap pemberian dapat diberikan dalam waktu 10 menit karena pemberian yang terlalu cepat dapat menimbulkan terjadinya hemolisis. Pemberian cairan hiperosmolaritas manitol ini dapat juga diberikan dengan dosis 0,5 -2 mg/kgBB ini dengan tujuan tercapainya serum osmolaritas 320 mOsm/L. Yang selanjutnya dosis diturunkan untuk maintenance pada dosis yang lebih kecil sambil dilakukan penurunan dosis bertahap. Pemberian loop diuretics seperti furosemide dapat dilakukan untuk mempertahankan serum osmolaritas pada target yang diharapkan. Risiko rebound dari peningkatan tekanan intrakranial harus diperhatikan pada pemberian cairan hiperosmolaritas ini oleh karenanya pemberian obat ini harus mengalami penurunan dosis bertahap agar serum osmolaritas dapat diturunkan secara perlahan lahan dalam waktu. 7 -10 hari.
            Pada keadaan hiponatremia pemberian cairan hipertonus dapat digunakan dengan cairan NaCl 3 % dengan target natrium serum 145-155 mEq/L.
Pada keadaan tertentu dimana tekanan intrakranial tak dapat dikontrol perlu dilakukan Ventriculostomy. Dengan demikian cairan serebrospinal dapat dialirkan keluar agar tekanan intrakranial lebih terkontrol.

KOMPLIKASI JANTUNG
Abnormalitas EKG sering tampak pada hampir 90 % pasien dengan PSA. Temuan EKG dapat menyebabkan kekeliruan dalam diagnosis karena transien dan menyerupai iskemik miokard akut atau infark. Hal ini semakin diperberat bila pasien PSA datang dalam keadaan penurunan kesadaran bahkan dengan gejala atipikal. Gambaran yang sering muncul adalah myocardial injury seperti ventricular wall motion dysfunction, kenaikan enzim, dan bukti histologis nekrosis contraction band. Disfungsi miokardial dikenal sebagai neurogenic stunned myocardium dapat reversibel jika pasien dapat bertahan melewati fase akut, akan tetapi dapat mengarah pada instabilitas hemodinamik dan berkontribusi untuk terjadinya neurogenic pulmonary oedema. Myocardial injury pada PSA berkaitan dengan stimulasi simpatis masif terhadap miokard sebagai respon terhadap kenaikan tekanan intrakranial yang berlangsung cepat.13
           
HIPONATREMIA
            Disfungsi hipothalamus dapat pula bermanifestasi sebagai SIADH di mana terjadinya hiponatremia yang disebabkan berlebihnya pengeluaran garam melalui urine akibat meningkatnya kadar natriuretic peptide dalam sirkulasi. Diuresis yang berlebih memerlukan kontrol cairan masuk dan keluar dan dilakukan restriksi cairan masuk.
            Hiponatremia sering terjadi dalam SAH, dua kemungkinan untuk meningkatnya peptida natriuretik otak (BNP) dan peptida natriuretik atrial (ANP). Peptida ini menyebabkan pembuangan garam serebral (CSW), dengan karakteristik hiponatremia dalam kedaan hipovolemia. Osmolalitas urin bisa normal atau  tinggi secara tidak tepat dan natrium urin selalu tinggi. Elektrolit serum mungkin identik pada pasien dengan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH).
  • Pada pasien CSW, pengobatan harus mencakup cairan dan penggantian sodium, yang bertentangan dengan pengobatan pasien dengan SIADH.
  • Status Volume harus dinilai secara klinis, oleh PCWP, atau dengan CVP sebelum menentukan pengobatan.
  • Perawatan spesifik termasuk normal saline atau 2-3% penggantian cairan saline dan (opsional) pemberian tablet garam oral atau nasogastrik (NG).
  • Jika hiponatremia akut dan menimbulkan gejala (kejang atau tingkat kesadaran yang berubah), maka harus ditangani segera tanpa pertimbangan dari kecepatan koreksi natrium serum.
  • Pada pasien dengan hiponatremia kronis atau durasi tidak diketahui, koreksi harus lambat karena kemungkinan pontine central pontine myelinosis (CPM). Sebuah koreksi awal 10%, diikuti dengan koreksi sebesar 10 mEq / L setiap 24 jam dianjurkan.
SIADH merupakan penyebab potensial hiponatremia dalam aSAH. Peningkatan ADH pada aSAH bersifat sementara. Oleh karena itu, CSW  lebih sering pada populasi pasien ini. Biasanya pada SIADH, pasien akan menjadi euvolemik atau hipervolemik. Osmolalitas urin akan tinggi meskipun terjadi hiponatremia serum dan osmolalitas serum yang rendah. Pengobatan SIADH dalam aSAH tidak secara langsung.
  • Pada pasien tanpa aSAH, vasospasme bukan merupakan perhatian dan cairan total dapat dibatasi <1 L per hari.
  • Pada pasien dengan aSAH volume intravaskuler harus cukup untuk mempertahankan perfusi serebral. Oleh karena itu, penggantian natrium dengan IV, PO, atau NG lebih disukai daripada restriksi cairan.
Adanya hiponatremia adalah indikator prognostik yang buruk terhadap keluaran pasien dan kejadian vasospasme. Pasien dengan hiponatremia memiliki tiga kali insidensi DCI setelah SAH dibandingkan pasien normonatremik.
           
HIDROSEFALUS
            Keadaan ini dapat terjadi secara akut dalam waktu. 24 jam pertama setelah terjadinya perdarahan. Adanya darah pada sisterna basalis dan sistem ventrikel memungkinkan terjadinya sumbatan aliran cairan serebrospinal atau dapat pula terjadi hambatan pada absorbsi cairan serebrospinal.
            Hidrosefalus setelah aSAH dapat dibedakan menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif. Hidrosefalus komunikans terjadi ketika darah dalam ruang subarachnoid mengganggu reabsorpsi di granulatio arachnoid dan permukaan pial. Produksi CSF melebihi reabsorpsi CSF dan meningkatkan volume ventrikel. Hidrosefalus obstruktif terjadi ketika akuaduktus Sylvii atau ventrikel keempat di foramen Luschka dan / atau Magendie tersumbat oleh produk darah. CSF tidak didrainase dari ventrikel ke dalam ruang subaraknoid dan produksi CSF yang berlebihan keluar ventrikel. Aneurisma sirkulasi posterior lebih mungkin untuk menutupi jalan ventrikel keempat, karena itu, hidrosefalus obstruktif lebih sering terjadi pada pasien ini.
  • Penurunan klinis dengan pelebaran ventrikel pada  CT scan dapat diklasifikasikan sebagai hidrosefalus hanya ketika penyebab lain dikesampingkan, seperti vasospasme, infark, hiponatremia, sepsis, hipoksia, edema otak, dan kejang.
  • Dari 20% pasien dengan aSAH dengan pelebaran ventrikel pada CT, hanya 30- 60% dari pasien menunjukkan gangguan neurologis.
  • Selain itu, 50% pasien dengan perubahan tingkat kesadaran karena hidrosefalus dapat meningkat secara spontan. Oleh karena itu, jika kondisi neurologis memungkinkan, dapat dihindari external ventricular drain (EVD).

            Hidrosefalus yang terjadi secara subakut akan terjadi dalam beberapa hari atau minggu setelah perdarahan subarachnoid akan menimbulkan gejala klinik berupa hilangnya pergerakan bola mata vertikal (vertical gaze), gangguan memori dan fungsi intelek lainnya, abulia, inkontinesia urine. Untuk sementara dapat dicoba dengan pemberian diuretika tetapi umumnya tindakan VP Shunt harus dilakukan.
            Kekhawatiran bahwa ventrikulostomi atau drainase lumbar meningkatkan risiko perdarahan ulang timbul karena drainase CSF  secara teoritis meningkatkan tekanan transmural pada dinding aneurisma. Beberapa penulis menyatakan bahwa ICP harus dijaga 20-25 cm jika dilakukan drainase CSF. Namun, penelitian lain menunjukkan tidak ada peningkatan tingkat perdarahan ulang dengan penempatan ventrikulostomi preoperatif.
            Hidrosefalus kronis dapat terjadi setelah aSAH. Peningkatan kemungkinan hidrosefalus kronis terjadi ketika terdapat darah intraventrikel selama SAH awal. Sebuah studi pendahuluan menunjukkan bahwa perdarahan intraventrikuler volume dapat berkurang dengan aman setelah pemberian tissue plasminogen activator (tPA) intraventrikel.             Pemberian tPA intraventrikuler setelah aSAH dengan perdarahan intraventrikel (IVH) menurunkan insidensi ketergantungan terhadap shunt, menurunkan lama perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan skor Glasgow outcome scale. tPA intraventrikuler terlihat lebih aman pada pasien aneurisma yang terkendali dan efektif dalam mengurangi jumlah gumpalan darah intraventrikel. 4

PERDARAHAN ULANGAN
Terjadinya perdarahan ulangan merupakan hal yang serius dan menimbulkan komplikasi neurology dengan angka kematian mencapai 50%. Puncak terjadinya perdarahan ulangan umumnya pada hari pertama dari perdarahan subarachnoid. Puncak risiko perdarahan kedua pada minggu pertama.
            Risiko terjadi perdarahan ulangan mencapai 20% pada minggu kedua dan risiko ini meningkat menjadi 50% setelah 6 bulan apabila tidak dilakukan operasi. Risiko terjadinya perdarahan ulangan pada wanita 2,2 kali dibandingkan pada laki-laki dari hasil Cooperative Aneurysms Study. Adanya bekuan darah dan jaringan yang rusak di dalam cairan cerebrospinal menstimulasi aktivitas fibrinolitik peningkatan aktivitas fibrinolitik ini akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan ulangan sehingga rasional apabila diberikan obat antifibrinolitik. Obat antifibrinolitik bermanfaat untuk mencegah lisis dari bekuan darah dengan cara menghambat pembentukan enzyme proteolytic dan menurunkan konsentrasi  fibrin degradation product di dalam cairan serebrospinal. Pada penelitian yang menggunakan obat antifibrinolitik ternyata, obat ini setelah 3 bulan follow up dengan pemeriksaan Glasgow outcome scale tidak ditemukan manfaat yang berarti, tetapi signifikan dalam menurunkan risiko perdarahan ulangan. Di lain pihak pemberian obat golongan antifibrinolitik seperti epsilon-aminocaproic acid dan tranexamic acid meningkatkan risiko terjadinya deep venous thrombosis, pulmonary embolism, ischemic cardiac disease dan delayed cerebral ischemia. Pada penderita yang mengalami atau berisiko timbulnya vasospasme sebaiknya pemberian obat-obatan golongan fibrinolitik dihindari karena risiko percepatan atau memperberat terjadi vasospasme yang akhirnya menimbulkan iskemia serebral (delayed cerebral ischemia).

VASOSPASME
            Vasospasme merupakan penyebab utama defisit neurologi akibat iskemia pada perdarahan subarachnoid. Adanya kontraksi dari otot polos pembuluh darah disertai perubahan morfologi pada dinding dan permukaan endotel merupakan respon dari suatu injury yang secara patogenesis belum diketahui secara utuh.
            Lokasi terjadinya vasospasme berhubungan dengan luas dan tebalnya perdarahan yang terjadi. Sebagai contoh pecahnya aneurisma sakuler di bifurcatio MCA kanan dengan bekuan darah yang tebal disekitarnya akan mengakibatkan timbulnya vasospasme di daerah perdarahan arteri tersebut dengan segala dampak iskemik yang akan ditimbulkannya.
Disebutkan di atas patogenesis terjadinya vasospasme belum diketahui secara penuh tetapi ada beberapa teori yang mendasarinya antara lain :
  1. Vasospasme berhubungan dengan produk rusaknya sel-sel darah merah yang berdampak spasmogenik seperti oxyhemoglobin, angiotensin, histamine, serotonin, prosta­glandin, hasil metabolisme nitric oxide, dan katekolamin.
  2. Adanya perubahan struktural pada dinding pembuluh darah di samping kontraksi pembuluh darah mendasari teori adanya suatu reaksi inflamasi, gangguan metabolisme pada dinding pembuluh darah, atau kerusakan dinding pembuluh akibat kontraksi yang berkepanjangan.
  3. Teori lainnya termasuk kehilangan kemampuan vasodilatasi, penekanan bekuan darah pada pembuluh setempat, dan adanya vasculopathy.
Vasospasme umumnya terjadi bertahap dari hari ke-4 sampai hari ke- 17 dengan maksimal terjadi pada kisaran hari ke-7 sampai hari ke-10.
            Pengobatan dengan hyperdynamic therapy yang dikenal dengan triple-H yaitu hypervolemic – hypertensive – hemodilution. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mempertahankan cerebral perfusion pressure sehingga mampu untuk mengurangi terjadinya cerebral iskemia akibat vasospasme tersebut. Pada prakteknya terapi ini tidak dapat dilakukan pada penderita yang belum dilakukan operasi atau tindakan terhadap aneurisma yang pecah karena mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya perdarahan ulangan, sedangkan pada mereka yang belum dan sudah dioperasi masih mempunyai risiko lain yaitu terjadinya gagal jantung , edema paru, disritmia, hiponatremia.
Calcium antagonis. Golongan obat ini banyak digunakan dalam pengobatan vasospasme walaupun secara penuh belum diketahui cara kerjanya. Dugaan sebagai anti-vasospasme belum dapat diterima sepenuhnya masih mungkin golongan obat ini dapat mencegah atau mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat vasospasm dengan berbagai cara kerjanya antara lain sebagai cytoprotection dengan menghambat masuknya calcium kedalam mitokondria dan mempertahankan metabolisme oksigen pada daerah yang sedang mengalami iskemia, menstabilkan sel membran, vasodilatasi leptomeningeal sehingga memperbaiki sirkulasi kolateral, memperbaiki kemampuan deformabilitas sel darah merah, mengurangi terjadinya sludging dan pengaruhnya terhadap agregasi trombosit. Obat golongan ini yang banyak dipakai yaitu nimodipine, nicardipine. Untuk nimodipin dapat diberikan peroral dengan dosis 30 - 60 mg setiap 4 jam untuk 21 hari atau dapat diberikan infuse nimodipin dengan dosis 2 cc/jam dengan pemantauan ketat terhadap tekanan darah selama 7 hari kemudian dilanjutkan peroral sampai hari ke-21.
            Tekanan darah dipertahankan pada kisaran 130 — 150 mmHg sistol pada penderita yang belum dilakukan tindakan terhadap aneurisma yang pecah, sedangkan pada penderita yang telah dilakukan tindakan terhadap aneurisma yang pecah tekanan darah sistol dipertahankan pada kisaran 150-180 mmHg. Penggunaan nimodipine sebagai pengobatan vasospasme telah terbukti bermanfaat dengan menurunkan angka kesakitan dan kematian -akibat perburukan iskemik serebral pada perdarahan subarachnoid. Terapi invasif lainnya terhadap vasospasme dapat dilakukan dengan angioplasti yaitu dengan transluminal balloon angioplasty.


















BAB IV
KOMPLIKASI JANTUNG PADA PERDARAHAN SUBARACHNOID

            Studi selama bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa gangguan jantung dalam kaitannya dengan PSA terjadi sebagai kelanjutan berbagai tingkat keparahan. Cakupan spektrum keparahan mulai dari kenaikan ringan enzim jantung dan perubahan EKG dengan klinis jelas dan echokardiografi patologis. Penanda kerusakan dan disfungsi jantung berhubungan dengan peningkatan keluaran  kematian, miskin dan delayed cerebral ischemic (DCI) setelah PSA. Etiologi dasar PSA terkait perubahan jantung sebagian besar spekulatif.  Faktor genetik, khususnya polimorfisme adrenoreseptor, dapat meningkatkan risiko kelainan jantung  setelah PSA. 2,11,12,13
            Stres akibat cedera jantung telah dijelaskan dengan baik dan tampaknya terkait dengan overdrive simpatis ('fight or flight') pada saat terjadinya stres emosional.  Mekanisme yang sama telah diusulkan sebagai dasar terjadinya kelainan jantung yang diamati pada pasien dengan PSA - yaitu, overstimulasi katekolamin dari miokardium selama atau segera setelah perdarahan akut. Peningkatan tonus simpatik menyebabkan status kardiovaskular menjadi hiperdinamik, yang akhirnya dapat menyebabkan dekompensasi dan gagal jantung. Secara bersamaan, keadaan patologis ini dapat tercermin dalam berbagai temuan electrographic menyimpang pada EKG. 

PATOGENESIS
Terdapat  3 teori yang menjelaskan pathogenesis disfungsi cardial yang diinduksi PSA yaitu :
1.            Multivessel Coronary Epicardial Artery Spasm
            Beberapa penulis telah menyarankan teori bahwa multivessel coronary artery spasm dapat muncul kemudian, namun bukti spasme epicardial secara angiografik tidak dilaporkan oleh Wittstein dkk. Dalam kasus yang jarang, ketika data angiogram koroner tersedia, ditunjukkan arteri koroner normal tetapi gambaran EKG terdapat elevasi segmen ST yang sedang berlangsung. Dalam SAH pada model anjing open-chest, RWMA ( regional wall motion abnormalities ) terjadi pada 89% dari anjing dengan SAH dan tidak ada bukti angiografik terjadinya spasme fokal koroner. Jadi, terdapat kekurangan klinis yang meyakinkan atau data hewan pendukung teori SAH yang diinduksi oleh multivessel coronary artery vasospasm.
2.            Microvascular Dysfunction
            Gangguan mikrovaskuler coroner diduga menyebabkan myocardial stunning. Sebuah teori alternatif melibatkan iskemia miokard yang disebabkan oleh disfungsi pada tingkat mikrovaskuler. Namun, perfusi mikrovaskuler normal telah ditunjukkan oleh myocardial contrast echocardiography (MCE) dalam model anjing SAH. Data klinis terbatas pada laporan kasus tunggal telah gagal untuk menunjukkan penurunan perfusi miokardium dalam SAH.
3.         Catecholamine Hypotesis
            Mekanisme yang paling banyak diterima adalah myocardial stunning yang dimediasi katekolamin  adalah toksisitas miokard langsung. Katekolamin dapat menurunkan kelangsungan hidup kardiomiosit  melalui  siklik AMP yang dimediasi overload kalsium dan oxygen derived free radicals. Hipotesis ini didukung oleh  perubahan histologis miokard yang diamati pada jantung pasien yang menderita SRC ( stress-related cardiomyopathy ).  Perubahan  histologis ini sama dengan pengamatan pada pemberian infus dosis tinggi  katekolamin pada hewan.  Perubahan ini berbeda dari yang diamati pada  nekrosis  iskemik  jantung. Contraction  band necrosis, infiltrasi  neutrofil, dan fibrosis  mencerminkan  konsentrasi kalsium intraseluler yang tinggi.  Saat ini diasumsikan  bahwa overload kalsium  ini menghasilkan disfungsi ventrikel akibat kardiotoksistas katekolamin. 

MANIFESTASI GANGGUAN JANTUNG PADA PERDARAHAN SUBARACHNOID
            Perubahan EKG dan disfungsi ventrikel kiri sering terjadi setelah perdarahan subarachnoid dan stroke iskemik. Hal ini sering disebut sebagai neurocardiogenic stunning atau neurogenic SRC. Terdapat empat prediktor independen neurogenic SRC yaitu : cedera neurologis berat, peningkatan troponin plasma, peningkatan brain natriuretic peptide, dan jenis kelamin wanita. Diagnosis neurogenic SRC dihubungkan dengan onset potensial aritmia fatal dan peningkatan resiko vasospasme serebral.
Mild Myocardial Injury
            Sebagai penekanan, cedera miokard terkait PSA bervariasi dalam tingkat keparahan dan bisa berkisar dari elevasi enzim jantung (CE) dengan perubahan EKG ringan sampai kardiomiopati berat (CMO) dengan disfungsi ventrikel dan syok kardiogenik. Mild Myocardial Injury biasanya dimanifestasikan oleh kenaikan serum troponin I jantung (cTn-I). Peningkatan ini terjadi pada 20-68% pasien dan biasanya ringan, tidak mencapai ambang batas diagnostik untuk infark miokard (MI).
Gambar 11. Efek iskemia terhadap fungsi ventrikel kiri

Pasien PSA yang menunjukkan gejala neurologis lebih berat  berdasarkan skor Hunt-Hess, dengan gangguan fisiologis lebih parah atau riwayat penyakit kardiovaskular lebih mungkin menunjukkan peningkatan kadar cTn-I.  Sehingga derajat defisit neurologis yang dinilai dengan skala Hunt-Hess adalah prediktor independen myocardial injury setelah PSA.  Hunt-Hess merupakan skala lima poin yang digunakan untuk menentukan kecacatan neurologis pada PSA dan risiko bedah.
            Meskipun ada perdebatan mengenai nilai prognostik yang benar dari peningkatan serum cTn-I pada PSA, tampaknya cTn-I menjadi prediktor kuat untuk terjadinya komplikasi paru-paru dan jantung, terutama pada pasien dengan skor tinggi pada skala klinis PSA World Federation of Neurological Surgeons (WFNS). Skala WFNS adalah lima poin skala untuk grading klasifikasi keparahan PSA (semakin tinggi kelas, defisit neurologis lebih parah). Satu penelitian melaporkan bahwa waktu median interval antara onset  PSA dan puncak kadar cTn-I adalah 1,7 hari dan pengukuran pertama tampaknya merupakan yang tertinggi dalam kebanyakan kasus.
Gambar  12 .  Perkembangan nekrosis pada infark tanpa aliran kolateral.

             Penelitian yang sama menunjukkan bahwa kadar cTn-I puncak menjadi prediksi peningkatan risiko hipotensi yang memerlukan vasopressor, edema paru, disfungsi ventrikel kiri (LV) dan DCI akibat vasospasme serebral. Hasil keseluruhan dari studi melihat elevasi cTn-I pada PSA menunjukkan bahwa penanda ini menjadi indikator yang lebih sensitif dan spesifik myocardial injury dibandingkan creatine kinase-MB (CKMB; penanda serologis yang sensitif dan spesifik digunakan dalam diagnosis infark miokard). Peningkatan kadar dan kecenderungan harus dimonitor melalui pengukuran serial, terutama pada pasien PSA dengan riwayat penyakit kardiovaskular dan dengan gejala neurologis yang parah atau gangguan fisiologis signifikan. 14,15

Cardiomyopathy
            Bentuk paling parah cedera jantung akibat PSA adalah neurogenic stunned myocardium (NSM). Peningkatan tonus simpatis menyebabkan overload kalsium sementara dengan respon penurunan filamen kontraktil untuk kation ini, akhirnya menyebabkan depresi miokard. Keterlibatan oxygen-derived free radicals juga telah diusulkan. Secara histopatologi, bentuk myocardial injury ini ditandai dengan nekrosis subendocardial contraction band. Studi Ekokardiografi menunjukkan kelainan kontraktilitas LV dan gerakan dinding yang biasanya reversibel.  Kelainan ekokardiografi gerakan dinding ini dihubungkan dengan fungsi LV yang terganggu, yang dapat, dalam beberapa kasus, compromise cardiac output (CO) yang berat, yang akhirnya menyebabkan syok kardiogenik.
Gambar 13. Patofisiologi “neurogenic stunned myocardium 16

            Neurogenic stunned myocardium yang terkait dengan PSA telah dibandingkan dengan entitas yang dijelaskan dalam literatur kardiologi : Takotsubo Cardiomyopathy (TC). Awalnya dilaporkan pada tahun 1990-an oleh Jepang pada wanita menopause, jenis CMO ini tampaknya dipercepat oleh stres emosional akut dan akibatnya kadang - kadang disebut sebagai  ‘'sindroma patah hati’ (the heart broken syndrome). Gambaran unik TC adalah adanya kelainan gerak dinding pada ekokardiogram di depan arteri epicardial paten seperti yang ditunjukkan dengan angiografi koroner. Selanjutnya, ekokardiografi biasanya menunjukkan gerakan menyimpang yang melibatkan apeks jantung (60% kasus), kadang-kadang dengan  karakteristik 'ballooning'. Hipotesis yang paling disukai mengenai patofisiologi TC adalah spasme koroner epicardial.

            Neurogenic stunned myocardium terjadi pada sekitar 20-30% pasien dengan PSA. Prediktor disfungsi LV pada pasien PSA adalah kadar CK-MB puncak di atas 2 %, derajat neurologis rendah dan jenis kelamin perempuan.  Kinerja LV yang sangat terganggu dapat memicu vasospasme serebral dan DCI melalui efeknya pada aliran darah serebral (CBF). Penurunan CO akan menyebabkan penurunan tekanan arteri rata-rata, menyebabkan penurunan CBF. Dengan demikian, fungsi jantung yang optimal sangat penting dalam mencegah perkembangan disfungsi neurologis dan mempromosikan pemulihan pasien PSA. Untungnya, NSM adalah reversibel, meskipun pemulihan penuh dapat memakan waktu beberapa minggu. Dalam model eksperimental anjing, NSM reversibel dalam waktu 48 jam. Satu studi melaporkan bahwa, kohort di antara pasien PSA yang menderita NSM, ejection fraction  rata-rata adalah 38% pada awalnya dan 55% saat pemulihan. Namun dilema terjadi ketika terapi hipervolemik / hemodilusi/ hipertensi ('triple-H') diperlukan untuk mengatasi dan mengobati gejala vasospasme serebral pada pasien dengan gangguan fungsi LV karena NSM. Penggunaan inotropik, seperti dobutamin atau milrinone, dengan tujuan untuk mengoptimalkan CO telah terbukti menjadi efektif dalam skenario klinis. Dalam kasus yang parah di mana CO menjadi refrakter terhadap formulasi inotropik atau ketika pasien mengalami komplikasi dengan terapi triple-H (seperti paru edema dan overload cairan), implementasi pompa balon intra aorta mungkin diperlukan.

Myocardial Contraction Band Necrosis (CBN)
            Perubahan patologis klasik miokard pada pasien dengan PSA adalah perubahan CBN, yang telah direproduksi pada eksperimen PSA menggunakan model hewan. Miokard CBN juga disebut sebagai degenerasi myocytolysis atau myofibrillary. Berbeda dengan infark yang berhubungan dengan nekrosis koagulasi, CBN adalah bentuk spesifik cedera miosit ditandai dengan hiperkontraksi sarkomer, tranverse band padat eosinofilik, dan respon inflamasi interstisial mononuklear. CBN secara klasik terkait dengan SAH, tapi kaitan perubahan histologis CBN dapat terjadi dalam berbagai kondisi berbeda, termasuk trauma kepala, Tako-tsubo CMO, pheochromocytoma, near-drowning, status asmatikus fatal, status epileptikus fatal, dan korban kekerasan yang meninggal tanpa mengalami luka dalam yang cukup untuk menjelaskan kematian mereka. Mekanisme patofisiologis dikaitkan dengan aliran simpatis. 3
            Pada percobaan hewan, ditunjukkan bahwa CBN dapat sepenuhnya diblokir oleh simpatektomi atau denervasi jantung, tapi masih terjadi bila dilakukan vagotomy yang menunjukkan bahwa pasokan vagal utuh ke jantung tampaknya tidak memiliki peran .

ICP dan Status simpatis
            Hubungan antara disfungsi jantung dan keparahan dari PSA mungkin dimediasi oleh peningkatan ICP, seperti yang ditunjukkan oleh model hewan mempelajari efek peningkatan ICP pada jantung. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa peningkatan ICP mendadak dikaitkan dengan kerusakan miokard. Pemeriksaan patologi menunjukkan lesi hipotalamus pada PSA, termasuk perdarahan, edema perivaskular dan infark , menguatkan dugaan koneksi hipotalamus dengan aktivasi simpatik.3
Temuan EKG
            Perubahan elektrokardiograf cukup umum terjadi pada pasien PSA, terutama dalam 72 jam pertama dari presentasi. Selama fase akut, 50-100% pasien dengan PSA akan menunjukkan perubahan EKG  dengan berbagai pola morfologi. Perubahan EKG yang paling umum pada pasien PSA adalah perubahan segmen ST (15-51%), perubahan gelombang T (12-92%), gelombang U yang prominent (4-47%), dan perpanjangan QTc (11-66%). Kelainan EKG ini biasanya terlihat pada pasien dengan cedera saraf parah dan bukan prediksi kematian yang independen.

A
B
Gambar 14. Pasien 49 tahun dengan perdarahan serebral. A. Rekaman EKG dalam 3 jam setelah masuk dan 4 jam setelah onset gejala. Tampak interval QT memanjang. B. Monitoring EKG 6 jam setelah masuk. Ventrikuler bigeminus mendahului onset takikardi ventrikuler polimorfik. Kardioversi dilakukan. Pasien secara subsekuen diterapi dengan beta-adrenergic blocker tanpa takikardi ventrikuler lebih lanjut.

            Sebuah studi yang melibatkan 106 pasien dengan PSA dan perubahan EKG menunjukkan bahwa ST depresi terkait dengan Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II score (APACHE II score : yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan penyakit di unit perawatan intensif), skala Hunt-Hess, dan skor WFNS, tetapi tidak untuk melihat perkembangan vasospasme serebral atau peningkatan tekanan intrakranial. 
Gambar 15. Gambaran EKG pada pasien dengan perdarahan subarachnoid. Gelombang T inverted yang dalam dan simetris

Selain itu, dengan analisis multivariat, penelitian ini menetapkan bahwa perubahan EKG tidak independen terkait dengan outcome neurologis. Sedangkan untuk hubungan antara temuan electrographic dan fungsi LV, dapat dikatakan bahwa meskipun temuan EKG pada pasien dengan PSA dan TC adalah sama, pada PSA sebagian besar tidak berhubungan dengan disfungsi LV.
            Sekitar 4-8% pasien PSA akan memiliki aritmia malignan yang meliputi takikardi ventrikel (VT), torsade de pointe dan asistol. Insiden setinggi 91% untuk keseluruhan dan 41% untuk aritmia yang mengancam jiwa. Dalam kelompok studi mereka, Frontera dkk melaporkan bahwa fibrilasi atrial dan flutter adalah bentuk aritmia yang paling umum. 

Gambar 16. Torsade de pointe adalah VT polimorfik yang berundulasi dimana axis gelombang masing-masing yang berurutan berbeda dari sebelumnya.

            Para peneliti lebih lanjut mengaitkan asosiasi aritmia dengan peningkatan risiko comorbiditas kardiovaskular, rawat inap berkepanjangan, dan outcome yang jelek atau kematian setelah PSA (setelah disesuaikan untuk prediktor lain). Prediktor berkembangnya aritmia setelah PSA adalah meningkatnya usia, tingkat keparahan gejala neurologis, riwayat aritmia dan EKG abnormal saat masuk. Patogenesis aritmia pada PSA masih kurang dipahami. Penjelasan berkisar dari overstimulasi simpatik familiar sampai malfungsi pusat otonom jantung pada otak tengah dan hipotalamus.
            Manajemen aritmia pada pasien PSA tergantung pada jenis ritme dan klasifikasi, relevansi klinis dan kondisi pasien. Sebagai langkah pertama, penting untuk menjamin oksigenasi yang memadai dan koreksi gangguan elektrolit dan metabolik.  Meskipun boleh dikatakan tepat, penggunaan β-blocker dalam upaya untuk mengimbangi takiaritmia neurogenik jantung pada PSA harus dipertimbangkan antara potensi obat untuk menurunkan tekanan darah dan selanjutnya mengurangi CBF.
            Subarachnoid hemorrhage juga dapat menyebabkan serangan jantung.  Selama periode pengamatan 8,5 tahun yang melibatkan 765 out-of-hospital cardiac arrests (OHCAs) , PSA spontan diidentifikasi sebagai penyebab langsung pada 27 orang (4%). Asistol atau pulseless electric activity adalah irama jantung awal pada mayoritas pasien dan hanya satu yang selamat, tetapi dengan defisit neurologis yang signifikan. Bertahan hidup tanpa kerusakan neurologis dari PSA yang mengikuti OHCA ini sangat langka.

Penatalaksanaan
            Ruptur aneurisma umumnya terkait dengan  kelainan aritmia jantung dan  elektrokardiografi  (EKG) . Ini adalah salah satu alasan mengapa pasien dengan SAH awalnya kadang-kadang  salah didiagnosis sebagai infark miokard akut dan dirawat di unit perawatan koroner.  Disfungsi ventrikel kiri mungkin terjadi , bahkan syok kardiogenik, biasanya dalam kombinasi dengan edema paru. Umumnya, aritmia ventrikel berat berdurasi pendek. Beta-bloker telah diusulkan sebagai pengobatan pencegahan untuk  menurunkan tonus  simpatik.  Pada pasien dengan SAH, pemberian beta-blocker secara rutin tidak dibenarkan sampai ada bukti hasil secara keseluruhan membaik; manfaat beta bloker mungkin mengecewakan karena efeknya menurunkan tekanan darah. 17
Gambar 17. Algoritma penatalaksanaan pasien dengan PSA dan dugaan disfungsi kardial. Bila EF kurang dari 40%, kadar Troponin T kurang dari 2.8 ng/mL konsisten dengan “stunned myocardium

            Perlu dilakukan monitoring EKG pada jam-jam pertama terjadinya perdarahan subarachnoid hal ini dimungkinkan karena resiko terjadinya dysrhytmia akibat terjadinya disfungsi hipotalamus yang berakibat timbulnya excessive symphatetic stimulation, keadaan ini terjadi pada 20%  penderita perdarahan suburachnoid.  Keadaan tersebut di atas akan berakibat terjadinya subendocardial ischemia, focal area of myocardial necrosis, perburukan fungsi jantung dan edema paru. Terjadinya peningkatan katekolamin didalam sirkulasi akan berakibat pada alpha reseptor dalam miocardium dan dapat terjadi prolonged myofibril contraction yang pada akhirnya akan menimbulkan myofibrillar degeneration dan nekrosis.
Teori lain mengatakan spasme arteri coronaria yang menimbulkan myocytolysis sehingga pemberian nitrat dengan hati – hati dan calcium channel blocker mungkin bermanfaat dalam kasus-kasus tersebut diatas.
            Tekanan darah > 180 mmHg atau diastolik > 95 mHg memerlukan pengobatan, obat yang digunakan sebaiknya yang tidak berpengaruh pada tingkat kesadaran penderita seperti alpha methyldopa harus dihindari. Obat hipertensi jenis β-blocker dapat digunakan dan juga untuk pengobatan takikardi ventrikular dan risiko kardiak arithmia.
            Peningkatan kadar troponin I terjadi kira-kira 35 % aritmia, dan 25 % mengalami abnormalitas gerak dinding miokard pada ekokardiografi. Abnormalitas ekokardiografi lebih sering terjadi pada pasien dengan peningkatan kadar troponin. Istilah “Neurogenic Stress Cardiomyopathy” dan “Stunned Myocardium” dipakai pada sindroma klinis yang terdiri dari  nyeri dada, dispneu, hipoksemia, dan syok kardiogenik dengan edema pulmo dan peningkatan penanda kardial yang terjadi dalam beberapa jam perdarahan subarachnoid. Monitoring ketat dengan enzim serial, elektrokardiografi, dan ekokardiografi direkomendasikan terutama pada pasien dengan dugaan awal disfungsi miokard. Monitoring cardiac output berguna pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil atau disfungsi miocard.
DAFTAR PUSTAKA

1.             Richard C. Stress-related Cardiomyopathies. Annals of Intensive Care 2011, 1 : 39
2.             Behrouz R, Sullebarger JT, Malek AR. Cardiac manifestations of subarachnoid hemorrhage. Expert Rev. Cardiovasc. Ther. 9(3), 2011 : 303 – 7
3.             Lee VH,Oh JK, Mulvagh SL, Wijdicks EF. Mechanisms in Neurogenic Stress Cardiomyopathy after Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Neurocrit. Care 2006; 05 : 243-9
4.             Miller M, Sinson G. Subarachnoid Hemorrhage. In Torbey MT ed. Neurocritical Care. Cambridge University Press. Winconsin. 2010 : 167 – 184.
5.             Sherwood, Lauralee, Human Physiology, 304, 326-328, Fifth Edition, Thomson, United States.
6.             Barret, Kim E; Boitano, Scott; Barman, Susan M; Brooks, Hedden L; Ganong’s, Review of Medical Physiology; Chap. 33 : 555-557, Twenty-Third Edition, Mc Graw Hill Medical Co.
7.             Masud, Ibnu, Dasar-Dasar Fisiologi Kardiovaskuler, 35-38, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1989.
8.             Guyton & Hall, Text Book of Medical Physiology, Elevent Edition, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia, 2006; 60: 748-760
9.             Harris S. Penatalaksanaan Perdarahan Subarachnoid. Dalam Proceedings Updates In Neuroemergency. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2004 : 154- 165
10.          Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. The Human Nervous System Structure and Function. Sixth Ed. Humana Press Totowa, New Jersey 2005 ; 5 : 89 - 99
11.          Diringer MN, Bleck TP, Hemphill JC, Menon D, Shutter L, Vespa P. Critical Care Management of Patient Following Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage : Recommendations from the Neurocritical Care Society’s Multidisciplinary Concensus Conference. Neurocrit Care 2011 ,15 : 211 – 240
12.          Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage : Update for Emergency Physicians. The Journal of Emergency Medicine. Vol 34, 2008 , 3 : 237 – 251
13.          Robbakken G, Brunvald H, Gundersen T, Farstad G. Cardiopulmonary complication in Acute Subarachnoid Hemorrhage. Pubmed-Tidsskr Nor Laegeforen 1998,118 (22)  : 3430-4
14.          Bruder N, Rabinstein A. Cardiovascular and Pulmonary Complication of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Neurocrit Care (2011) 15 : 257 – 269
15.          Mayer SA, Lin J, Homma S, Solomon RA, Lennihan L. Myocardial Injury and Left Ventricular Performance after Subarachnoid Hemorrhage. Stroke 1999, 30 : 780 – 786.
16.          Canty JM. Coronary Blood Flow and Myocardial Ischemia. In Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Saunders Elsevier 2012; 17 : 317 , 1049 - 1075
17.          Gijn J, Rinkel GJ. Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. In Candelise et al. Evidence-based Neurology : management of neurological disorders. Blackwell Publishing 2007 ; 14 : 127 -139