Rabu, 21 Maret 2012

LATE ONSET POSTPARTUM ECLAMPSIA

I. EKLAMPSIA
1.1 PENDAHULUAN
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang tonik klonik umum maupun motorik lokal pada wanita dengan usia kehamilan setelah 20 minggu dengan preeklampsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba (TD diastolik >90 mmHg), dan proteinuria tanpa ada kelainan sebelumnya. Angka kejadian eklampsia di negara Inggris 0,49/1000 kehamilan dan pada negara berkembang berkisar 1/1000 – 8,1/1000 kehamilan. Kira-kira 15-25% wanita yang didiagnosis awal dengan hipertensi dalam kehamilan akan mengalami preeklampsia berat. Kejang pada eklampsia dapat terjadi pada usia kehamilan 20 – 40 minggu atau dalam 48 jam setelah kelahiran dan kadang-kadang lebih lama dari 48 jam setelah kelahiran.
Angka kematian ibu akibat eklampsia sebesar 63.000 jiwa/tahun di seluruh dunia, sedangkan angka kematian di negara berkembang mencapai 14%. Beberapa tanda dan gejala peringatan yang mendahului eklampsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, gangguan dan per ubahan visual dan mental, retensi cairan , fotofobia, iritabel, mual dan muntah. Komplikasi maternal dari eklampsia seperti HELLP syndrome, insufisiensi renal, koagulapati intravaskular diseminata (DIC), edema paru, termasuk juga kerusakan susunan saraf pusat yang diakibatkan kejang yang berulang atau perdarahan intraserebral.
Komplikasi neurologis dari eklampsia selain kejang juga ditemukan adanya penurunan kesadaran hingga koma yang diakibatkan perdarahan maupun edema cerebri. Adanya edema serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada eklampsia.
Perluasan edema serebri yang menimbulkan gejala sistem saraf pusat yang difus dapat terjadi pada 6% wanita dengan eklampsia dan 30% diantaranya akan berkembang menjadi herniasi transtentorial. Data penelitian menunjukkan bahwa edema serebri vasogenik maupun sitotoksik dapat terjadi pada preeklampsia berat atau eklampsia. Edema vasogenik merupakan yang paling dominan dan bersifat reversible sehingga jarang menimbulkan sequele neurologis yang permanen. Pemahaman patofisiologi edema serebri sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis dan terapi eklampsia mengingat defisit neurologis pada penderita eklampsia yang reversible dengan pengobatan yang tepat dan cepat.

1.2 PATOGENESIS
Patogenesis dari preeklampsia dan eklampsia kompleks melibatkan faktor genetik, imunologis dan interaksi lingkungan. Terdapat 2 tahap perjalanan penyakit ini yaitu :
1. Fase asimptomatik, yang ditandai oleh perkembangan abnormal dari plasenta selama trimester I yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan sejumlah besar material plasenta kedalam sirkulasi maternal.
2. Fase simptomatik, timbul gejala klinis akibat sekresi ke dalam sirkulasi maternal yang menimbulkan endotheliosis glomerular, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons inflamasi sistemik (SIRS) yang menyebabkan hipoperfusi dan kerusakan target organ. Gejala klinis yang timbul seperti hipertensi, gangguan fungsi ginjal, sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver function enzym and Low Platelets). Eklampsia dan kerusakan organ target yang lain biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu.
1.3. FAKTOR PREDISPOSISI
Primigravida, kehamilan ganda, hipertensi esensial kronis, diabetes melitus, mola hidatidosa, obesitas, bayi besar, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklampsia serta adanya riwayat keluarga yang pernah menderita preeklampsia atau eklampsia.
1.4 GEJALA KLINIS EKLAMPSIA
Manifestasi klinis dari eklampsia biasanya merupakan kelanjutan dari preeklampsia dimana ditemui adanya nyeri kepala di daerah frontal, bitemporal atau occipital, gangguan penglihatan seperti penglihatan kabur, diplopia dan skotoma hingga kebutaan serta gejala pencernaan seperti mual, muntah dan nyeri epigastrium. Gejala ini diikuti oleh semakin meningkatnya tekanan darah, derajat proteinuria, edema anasarka serta hiperrefleks. Bila keadaan ini tidak dikenali atau segera ditangani akan timbul kejang. Kejang pada eklampsia dapat terjadi pada antepartum (50%), intrapartum (25%) dan post partum (25%). Sedangkan bangkitan eklampsia dapat dibagai atas 4 Fase atau tingkatan :
1. Fase awal atau aura
Mata penderita terbuka, kelopak mata dan tangan bergetar, serta kepala berputar ke kanan dan kiri. Fase ini berlangsung selama 30 detik.
2. Fase kejang tonik
Berlangsung selama 30 detik, seluruh otot menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan dapat terhenti, muka menjadi sianotik serta lidah dapat tergigit.
3. Fase kejang klonik
Berlangsung selama 2 menit. Semua otot berkontraksi secara berulang dan cepat. Mulut membuka dan menutup dengan lidah tergigit lagi. Bola mata menonjol, mulut berbusa. Wajah menunjukkan kongesti dan sianosis. Kejang berhenti dan penderita menjadi tidak sadar.
4. Fase koma
Lama hilangnya kesadaran bervariasi, bisa beberapa menit hingga beberapa jam. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi tetapi data juga terjadi serangan kejang yang baru.

1.4 PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar pengelolaan eklampsia berdasarkan Konsensus Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia (2010) yaitu:
1. Terapi Suportif untuk stabilisasi penderita
2. ABC (Airway, Breathing, Circulation)
3. Mengatasi dan mencegah kejang
4. Koreksi hipoksemia dan asidemia
5. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya krisis hipertensi
6. Terminasi kehamilan

Penatalaksanaan Medikamentosa :
1. Magnesium sulfat (MgSO4)
Dosis awal : 4 – 6 gr MGSO4 20% IV (bolus 20 menit)
Bila kejang berulang dapat diberikan lagi 2 gr IV selama 20 menit
Dosis maintenance : 1 gr / jam IV dapat diberikan sampai 24 jam setelah kejang berhenti.
Syarat pemberian MgSO4 :
- Harus tersedia Kalsium glukonas 10% (antidotum), diberikan iv secara perlahan bila terjadi intoksikasi MgSO4
- Refleks patella (+)
- Frekuensi pernafasan > 16 kali/ menit
- Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
Bila penderita masih kejang dapat diberikan obat kejang lain seperti sodium amobarbital 250 mg IV selama 3-5 menit, Diazepam 5 – 10 mg IV pelan sesuai protokol penangangan status epileptikus.
2. Antihipertensi
Pemberian obat anti hipertensi dapat diberikan jika tekanan darah Sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik > 105 mmHg atau bial tekanan arteri rata-rata (MAP) = 125 mmHg. Terapi antihipertensi bertujuan untuk menurunkan risiko gangguan autoregulasi serebrovaskular akibat hipertensi, sehingga hiperperfusi yang dapat menimbulkan edema serebri dapat dicegah. Obat anti hipertensi yang direkomendasikan JNC 7th untuk hipertensi pada wanita hamil adalah metyldopa, dan α blocker.

Penatalaksanaan Obstetrik :
Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin

1.5 KOMPLIKASI EDEMA SEREBRI
Pada kurang lebih 5% kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat hingga koma yang menetap setelah kejang teratasi. Hal ini diakibatkan edema serebri yang luas. Penelitian Zeeman dkk (2004) menunjukkan 93% kejang postpartum berhubungan dengan edema serebri sebagai manifestasi encephalopathy hipertensi pada eklampsia. Tidak terdapat gejala patognomonis yang khas pada komplikasi edema serebri. Beberapa gejala yang timbul merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti adanya nyeri kepala disertai mual dan muntah, pandangan kabur dan kebingungan dapat dicurigai adanya edema serebri. Pemeriksaan diagnostik imajing seperti CT Scan atau MRI kepala perlu dilakukan untuk menentukan kondisi neuropatologik yang mendasari terjadinya kejang. Menurut Cunningham edema serebri pada kasus eklampsia hampir seluruhnya merupakan edema tipe vasogenik sedangkan sisanya adalah Edema tipe sitotoksik (18%).
Terdapat dua teori penyebab edema serebri pada eklampsia yaitu :
1. Teori Force Dilatation, menyatakan akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrem pada eklampsia menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya Edema vasogenik.
2. Teori Vasospasme, menyatakan overregulasi serebrovaskular akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal. Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membran sel sehingga terjadi kegagalan ATP dependent Na/K pump yang menyebabkan terjadinya edema sitotoksik.
Perluasan Edema serebri yang difus dapat mengakibatkan efek penekanan vaskuler sehingga dapat memperparah kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan perdarahan perikapiler sehingga akan memperburuk prognosis. Sekitar 30% dari perluasan Edema serebri dapat berlanjut menjadi herniasi transtentorial sehingga berakibat kematian.
Penatalaksanaan oedem serebri secara umum meliputi :
• Elevasi kepala 15 - 300
• Mencegah dehidrasi
• Menjaga normotermia
• Kontrol tekanan darah, tekanan darah yang sangat tinggi menimbulkan edema serebri

Penatalaksanaan khusus meliputi :
• Osmoterapi : pemberian Manitol, yang secara osmotik akan menarik cairan pada jaringan otak kembali ke vaskuler sehingga mengurangi edema serebri dan menurunkan tekanan intra kranial.
• Hiperventilasi : menyebabkan darah menjadi lebih alkali (alkalosis) yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga akan mengurangi edema serebri dan menurunkan tekanan intra kranial.
1.6 PROGNOSIS
Data statistik di Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan penurunan kejadian eklampsia dalam 40 tahun terakhir dengan presentase 10 – 15%. Sekitar 25% dari penderita yang mengalami eklampsia akan mengalami hipertensi pada kehamilan berikutnya, 2% penderita eklampsia juga akan mengalami eklampsia pada kehamilan berikutnya. Defisit neurologis yang diakibatkan Edema serebri pada eklampsia pada umumnya bersifat reversible. Beberapa Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa Edema serebri baik tipe vasogenik maupun tipe sitotoksik dapat mengalami pemulihan yang sempurna dengan pengobatan yang cepat.

II. DELIRIUM
2.1 PENDAHULUAN
Delirium adalah kejadian akut atau subakut neuropsikiatri berupa penurunan fungsi kognitif dengan gangguan irama sirkar¬dian dan bersifat reversibel. Penyakit ini disebabkan oleh disfungsi serebral dan bermanifestasi secara klinis berupa kelainan neuropsikiatri.
2.2 DEFINISI .
Definisi delirium menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders (DSM—IV—TR) adalah sindrom yang memiliki banyak penyebab dan berhubungan dengan derajat kesadaran serta gang¬guan kognitif.
Tanda yang khas adalah penurunan kesadaran dan gangguan kognitif. Adanya gangguan mood (suasana hati), persepsi dan peri¬laku merupakan gejala dari defisit kejiwaan. Tremor, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala defisit neu¬rologis.
Klasifikasi delirium berdasarkan DSM-IV:
1. Delirium karena kondisi medis umum.
2. Delirium karena intoksikasi zat.
3. Delirium karena sindrom putus zat.
4. Delirium karena etiologi yang multipel.
5. Delirium yang tak terklasifikasikan.

2.3 ETIOLOGI
1. Penyebab-penyebab delirium yang umumnya reversibel :
• Hipoksi.
• Hipoglikemi.
• Hipertermi.
• Delirium antikolinergik .
• Sindrom putus zat karena alkohol atau sedatif.
2. Penyebab lain :
• Infeksi
• Gangguan metabolik.
• Lesi struktural otak.
• Pascaoperasi.
• Lain-lain : kurang tidur, retensi urin, fecal impaction, perubah¬an lingkungan.
• Intoksikasi:
 Intoksikasi zat : alkohol, heroin, kanabis, PCP, dan LSD.
 Intoksikasi obat :
- Antikolinergik (antidepresan trisiklik).
- Narkotik (meperidin).
- Hipnotik sedatif (benzodiazepin).
- Histamin-2 (H-2) blocker (simetidin).
- Kortikosteroid.
- Antihipertensi sentral (metildopa dan reserpin).
- Antiparkinsonisme (levodopa).
 Sindrom putus zat : alkohol, opiat, dan benzodiazepin.
3. Demensia merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar. Faktor risiko demensia pada pasien delirium sebesar 25-50%. Adanya demensia meningkatkan risiko delirium sebanyak 2-3 kali.
4. Delirium yang berhubungan dengan operasi:
• Preoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan elektrolit, dan cairan).
• Intraoperatif (meperidin, benzodiazepine long-acting, dan anti¬kolinergik seperti atropin).
• Pascaoperatif (hipoksia dan hipotensi).

2.4 PATOFISIOLOGI
Delirium dapat timbul dari bermacam-macam kelainan fisiolo¬gis maupun struktural. Pada pasien dengan ensefalopati hepatikum dan gejala putus alkohol, terjadi kelainan metabolisme oksidatif serebral dan abnormalitas neurotransmiter multipel.
Delirium merupakan manifestasi disfungsi neurologis, terutama di daerah yang peka di korteks dan sistem retikular; jarang di serebelum. Dua mekanisme neuronal yang mencetuskan delirium, yaitu pelepasan neurotransmiter yang berlebihan dan pengaturan sinyal abnormal. Patofisiologi terbaru untuk menjelaskan keadaan delirium adalah ketidakseimbangan neurotransmiter berupa defisit kolinergik dan kelebihan dopamine.

2.5 DIAGNOSIS
Gejala - gejala utama:
1. Kesadaran berkabut.
2. Kesulitan mempertahankan atau mengalihkan perhatian.
3. Disorientasi.
4. Ilusi
5. Halusinasi.
6. Perubahan kesadaran yang berfluktuasi.
Gejala yang sering berfluktuasi dalam satu hari ; pada banyak kasus, pada siang hari terjadi perbaikan sedangkan pada malam hari tampak sangat terganggu. Siklus tidur-bangun sering terbalik.
Gejala-gejala neurologis :
1. Disfasia
2. Disartria.
3. Tremor.
4. Asteriksis pada ensefalopati hepatikum dan uremia.
5. Kelainan motorik.
Kriteria diagnostik delirium (DSM-IV):
• Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terha¬dap lingkungan), berkurangnya kemampuan dalam mem¬fokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
• Perubahan kognitif (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, dan gangguan persepsi) yang terjadi di luar ada¬nya, awal terjadinya atau berkembangnya demensia.
• Gangguan terjadi pada jangka waktu singkat (biasanya antara beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi dalam satu hari.
• Penemuan yang spesifik dari riwayat, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium dapat mengindikasikan penyebab gangguan apakah akibat fisiologik dari kondisi medis umum, intoksikasi zat, penggunaan obat-obat tertentu atau dapat juga timbul oleh lebih dari satu penyebab.
2.6 PENATALAKSANAAN
1. Intervensi Nonfarmakologis
Target utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan delirium, kebingungan, dan kesalahan persep¬si serta mengoptimalkan stimulasi lingkungan.
2. Intervensi Farmakologis
Antipsikotik Tipikal. Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia atau delirium hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/ 12 jam, sementara untuk usia muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan do¬sis 10 mg/2 jam IV. Jika dosis awal tidak efektif, maka dapat digandakan 30 menit kemudian selama tidak ditemukan efek samping. Pengaruh terhadap jantung memberikan gambaran interval QT memanjang pada EKG, sehingga pemberian halo¬peridol disertai dengan monitor EKG.
Antipsikotik Atipikal. Dosis risperidon untuk orang tua 0,25- 0,5 mg/12 jam, olanzapin 2,5-5 mg malam hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis bertahap sesuai indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT me¬manjang pada EKG. Olanzapin dan quetiapin altematif peng¬ganti haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glu¬kosa serum, selain itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan kontraindikasi pada delirium. Olan¬zapin dan risperidon tersedia dalam sediaan oral.
Benzodiazepin. Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi antipsikotik, dapat di¬gunakan diazepam 5-10 mg IV; dapat diulang sesuai kebu¬tuhan. Benzodiazepin dapat digunakan sebagai monoterapi ,pada gejala putus, alkohol, benzodiazepin, barbiturat, atau delirium pascakejang. Pasien delirium dengqn gejala putus alkohol diberi tiamin 100 mg/hari dan asam folat 1 mg/hari. Pemberian tiamin mendahului pemberian glukosa IV. Ben¬zodiazepin memberikan efek sedasi berlebih, depresi perna¬pasan, ataksia, dan amnesia.
Preparat Anestetik. Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap psikotropik tipikal. Efek sam¬pingnya berupa depresi pernapasan. Propofol bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 µg/kg/ menit. Efek samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradi¬kardi peningkatan enzim pankreas, dan asam laktat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Felz, MW, Barnes, DB. And Figueroa RE. Late Postpartum Eclampsia 16 Day After Delivery: Case Report with Clinical Radiologic and Pathophysiologic Correlations. J Am Board Fam Pracgt 2000: 13(1): 39-46.
2. Salha, O, Walker, J. Modern Management of Eclampsia. Postgrad Med J 1999; Vol.75:78-82
3. Cunningham FG, Twickler. Cerebral Edema Complicating Eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2000; Vol. 182:94-100
4. Belfort, MA, Saade, GR, Yared, M, Nisell, H.Change in Estimated Cerebral Perfusion Pressure after Treatment with Nimodipine or Magnesium Sulfate in Patients with Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 1999; Vol.181:402-07.
5. Zeeman, GG, Fleckenstein, JL, Twickler, DM, Cunningham,FG. Cerebral Infarction in Eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2004; Vol.190:714-20
6. Handerson, HV.Eclampsia in Neurological Intensive Care Unit 2003. Bringham and Women’s / Faulkner Hospital.
7. JNC 7th Express, The seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, National Health Blood Pressure Education Program, US. Department of Health and Human Services, 2003.
8. Ross, MG, Eclampsia.[Internet]. Updated Mei 2010. Available at http.// www.emedicine.medscape.com.
9. Aashit K Shah. Preeclampsia and eclampsia.[Internet].c2010. . Available at http.// www.emedicine.medscape.com.
10. Raslan, A, Medical Management of Cerebral Edema.[Internet].c2010. Available at http.// www.emedicine.medscape.com.
11. Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia, Eklampsia, Penatalaksanaan Obstetri, 2010:43-45
12. Sudibjo Prijo, Edema serebri sebagai komplikasi eklamsia, Laporan Kasus. Berkala Neurosains 2005; Vol.6:21-25.
13. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis & Tata laksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku ECG Jakarta. 2009 : 8 – 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar